Kendari (Antara News) - Penggusuran bangunan rumah dan toko di kawasan kota lama, Kendari, Sulawesui Tenggara (Sultra) yang dilakukan pemerintah provinsi selama sepekan terakhir mendapat penolakan dari puluhan warga keturuan Tionghoa.
Pantauan di lokasi kota Lama, Kendari, Minggu, puluhan warga Tionghoa tidak memberi izin bagi kendaraan berat untuk melakukan penggusuran sepanjang belum ada kesepakatan ganti rugi lahan dan bangunan.
"Kami tidak pernah mengetahui adanya penggusuran karena tidak ada pertemuan membicarakan berapa ganti rugi yang akan diberikan," ungkap Jefri, salah seorang warga yang enggan rukonya digusur.
Ia mengatakan, proses penggusuran lahan dan bangunan pun baru diketahui setelah ada pemberitaan di sejumlah media massa. Besaran ganti rugi setiap ruko hanya sekitar Rp300 juta per unit, padahal berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP) mencapai Rp1 miliar.
Oleh karena itu, kata Jefri yang juga ditunjuk sebagai koordinator warga Tionghoa mengatakan menolak proses penggusuran lahan, dan menyerahkan proses hukum itu melalui Lembaga Bantuan hukum (LBH) Kendari untuk melakukan gugatan sekaligus melaporkan pihak Pemprov Sultra atas penggusuran itu.
Penolakan warga Tionghoa untuk digusur dapat berdampak gagalnya rencana pembangunan mega proyek Jembatan Bahteramas yang menghubungkan eks kota lama dengan Kelurahan Lapulu di atas Teluk Kendari. Proyek itu dengan anggaran melalui Kementerian Pekerjaan Umum yang seluruhnya lebih dari Rp500 miliar.
Alokasi anggaran pada tahap awal tahun 2015 akan direalisasikan sebesar Rp180 miliar dan tahun berikutnya dicairkan kembali hingga proses penyelesaian pembangunan yang diperkirakan dalam jangka dua tahun.
Karo Pemerintahan pemprov Sultra Muhammad Zayat sebelumnya mengatakan, proses penggusuran lahan dan bangunan eks kota lama sudah dilakukan sejak awal bulan Februari lalu dengan jumlah bangunan yang digusur lebih dari 20 dari 80 ruko yang terkena proyek tersebut.
"Semua unit bangunan yang sudah digusur itu, sesuai dengan prosedur. Di mana sesuai aturan bahwa untuk bangunan dikenakan ganti rugi sebesar Rp750 ribu/meter persegi dan lahan Rp1 juta/meter ersegi," ujarnya.
Terkait adanya beberapa warga yang masih bertahan dan menolak untuk digusur, ia mengatakan tetap akan dilakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan yang terbaik.
Pantauan di lokasi kota Lama, Kendari, Minggu, puluhan warga Tionghoa tidak memberi izin bagi kendaraan berat untuk melakukan penggusuran sepanjang belum ada kesepakatan ganti rugi lahan dan bangunan.
"Kami tidak pernah mengetahui adanya penggusuran karena tidak ada pertemuan membicarakan berapa ganti rugi yang akan diberikan," ungkap Jefri, salah seorang warga yang enggan rukonya digusur.
Ia mengatakan, proses penggusuran lahan dan bangunan pun baru diketahui setelah ada pemberitaan di sejumlah media massa. Besaran ganti rugi setiap ruko hanya sekitar Rp300 juta per unit, padahal berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP) mencapai Rp1 miliar.
Oleh karena itu, kata Jefri yang juga ditunjuk sebagai koordinator warga Tionghoa mengatakan menolak proses penggusuran lahan, dan menyerahkan proses hukum itu melalui Lembaga Bantuan hukum (LBH) Kendari untuk melakukan gugatan sekaligus melaporkan pihak Pemprov Sultra atas penggusuran itu.
Penolakan warga Tionghoa untuk digusur dapat berdampak gagalnya rencana pembangunan mega proyek Jembatan Bahteramas yang menghubungkan eks kota lama dengan Kelurahan Lapulu di atas Teluk Kendari. Proyek itu dengan anggaran melalui Kementerian Pekerjaan Umum yang seluruhnya lebih dari Rp500 miliar.
Alokasi anggaran pada tahap awal tahun 2015 akan direalisasikan sebesar Rp180 miliar dan tahun berikutnya dicairkan kembali hingga proses penyelesaian pembangunan yang diperkirakan dalam jangka dua tahun.
Karo Pemerintahan pemprov Sultra Muhammad Zayat sebelumnya mengatakan, proses penggusuran lahan dan bangunan eks kota lama sudah dilakukan sejak awal bulan Februari lalu dengan jumlah bangunan yang digusur lebih dari 20 dari 80 ruko yang terkena proyek tersebut.
"Semua unit bangunan yang sudah digusur itu, sesuai dengan prosedur. Di mana sesuai aturan bahwa untuk bangunan dikenakan ganti rugi sebesar Rp750 ribu/meter persegi dan lahan Rp1 juta/meter ersegi," ujarnya.
Terkait adanya beberapa warga yang masih bertahan dan menolak untuk digusur, ia mengatakan tetap akan dilakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan yang terbaik.