Jakarta  (Antara News) - Peneliti hukum konstitusi pada Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) Indonesia Afifi Sunardi mengemukakan ikhtiar Presiden Joko Widodo meminta masukan dan pertimbangan ke KPK dan PPATK terkait dengan penyusunan komposisi kabinet patut diapresiasi.

        "Ikhtiar Jokowi meminta masukan dan pertimbangan ke KPK dan PPATK patut diapresiasi," katanya dalam pernyataan yang disampaikan di Jakarta, Jumat, terkait dengan pengumuman kabinet Presiden Jokowi.

        Dia mengemukakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945 bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

        Norma dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara disebutkan batas akhir 14 hari kerja sejak Presiden mengucapkan sumpah janji. "Artinya, batas maksimal Presiden Jokowi umumkan kabinetnya pada tanggal 7 November 2014," katanya.

        Menurut dia, polemik yang muncul belakangan disebabkan janji yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya untuk secepatnya mengumumkan kabinet ternyata tidak tepat. Dalam hal ini, Tim Transisi Pemerintahan Jokowi yang telah dibentuk Agustus lalu efektivitasnya dipertanyakan.

        Namun, kata dia, ikhtiar Jokowi meminta masukan dan pertimbangan ke KPK dan PPATK patut diapresiasi. "Meski harus digarisbawahi, proses tersebut semestinya dilakukan diam-diam," katanya.

        Presiden sebagai "user" (pengguna) dapat menutup rapat proses tersebut agar tidak muncul anggapan bahwa Presiden tengah berbagi hak porerogatifnya dengan lembaga negara lainnya (KPK dan PPATK).

        "Proses tersebut juga semestinya dilakukan jauh hari sejak Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pasangan Prabowo-Hatta (22 Agustus 2014) atau sejak Jokowi-JK definitif sebagai Presiden/Wapres terpilih," katanya.

       Di sisi lain, dia juga mengatakan bahwa Presiden Jokowi seharusnya jangan terhambat dengan respons DPR terkait dengan pertimbangan pengubahan nomenklatur kementerian.

       "Surat ke DPR itu minta pertimbangan saja, bukan persetujuan," katanya.

        Artinya, kata dia, apa pun jawaban DPR tidak mengganggu hak prerogatif presiden. "Apalagi, ada klausul tujuh hari DPR tidak merespons, dianggap sudah memberikan pertimbangan (Pasal 19 Ayat 3)," katanya.

Pewarta : Sri Muryono
Editor :
Copyright © ANTARA 2024