Kendari (Antara News) - Bank Indonesia (BI) melalui buku kajian ekonomi regional (KER) mencatat, sektor pertambangan Sulawesi Tenggara kembali tumbuh terkoreksi cukup dalam akibat pemberlakuan UU Minerba terkait pelarangan aktivitas ekspor dalam bentuk bahan mentah.

Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa hampir 90 persen pelaku usaha tambang berskala kecil yang yang ada di Sultra telah tutup dan menghentikan aktivitas pertambangan secara total, kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sultra, Dian Nugraha, di Kendari, Selasa.

"Dengan demikian sektor pertambangan tumbuh terkontraksi sebesar 13,35 persen (year on year), setelah sebelumnya tercatat tumbuh sebesar 28,27 persen (year on year) di triwulan pertama 2014," katanya.

Meski demikian lanjut Dian, secara analisa triwulan diketahui bahwa sektor pertambangan tumbuh positif sebesar 2,92 persen (qi to qi). Pertumbuan positif itu didorong aleh meningkatnya kinerja sektor industri pengolahan di sulawesi Tenggara sehingga mendorong kinerja produksi nikel sebagai bahan bakar pembuatan komoditas nikel olahan seperti fero nikel (feni) dan nikel pig iron (NPI).

Sementara di triwulan ke dua 2014, sektor pertambangan kembali memberi kontribusi negatif sebesar 1,25 persen menurun apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 0,37 persen.

Dian mengatakan, perlambatan yang terjadi di periode laporan juga diakibatkan oleh terhentinya aktivitas pertambangan biji nikel oleh salah satu pelaku usaha tambang terbesar di Sultra yang tumbuh terkontraksi sebesar 67,29 persen (yoy).

Sejalan dengan berlakukna UU Minerba, maka fokus pemerintah saat ini beralih kepada realisasi pengembangan dan pembangunan industri pengolahan di Sultra.

"Tentu dengan harapan berdirinya pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smalter), disamping akan memberikan nilai tambah yang jauh lebih tinggi terhadap hasil pertambangan juga kesinambungan pertumbuhan ekonomi pada sektor industri pengolahan," ujaranya.

Pewarta : Oleh: Azis Senong
Editor :
Copyright © ANTARA 2024