Di masa lampau --di era belum ada sarana komunikasi apa pun di Wakatobi--, masyarakat dalam berinteraksi dengan sesama selalu menyampaikan informasi secara langsung.

Dalam hal mempertemukan muda mudi untuk saling mengenal dan menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka (muda mudi-red), lembaga adat masyarakat setempat membuat sebuah ritual yang diberi nama `Kabuenga`.

Dalam tatanan tradisi masyarakat Melayu di Jawa atau Sumatera, `Kabuenga` artinya ayunan.

"Leluhur kami membuat tradisi `Kabuenga` sebagai sarana mempertemukan anak-anak muda --laki-laki dan perempuan-- yang sudah memasuki usia akil balik untuk saling mengenal," kata tokoh adat masyarakat Wakatobi, La Ode Usman Baga (54) saat ritual `Kabuenga` memeriahkan kegiatan Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional di Wangiwangi, ibukota Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara yang berakhir Jum`at (12/9).

Harapan leluhur dalam ritual `Kabuenga` ketika itu kata dia, di antara mereka yang saling bertemu dalam ritual tersebut bisa tumbuh benih-benih cinta dan dapat mengantarkan dua remaja lain jenis ke jenjang pelaminan atau pernikahan.

Tradisi ritual `Kabuenga` yang dianggap mengandung nilai-nilai sakral oleh masyarakat Wakatobi, di masa lampai digelar sekali dalam setahun, yakni pada setiap usai merayakan Hari Raya Idul Fitri.

Para tetua adat memilih perayaan hari Raya Idul Fitri sebagai momentum paling tepat menggelar tradisi `Kabuenga` karena pada hari besar umat Islam itu, masyarakat Wakatobi yang merantau di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di luar negeri, pulang kampung atau mudik lebaran.

"Setelah ritual `Kabuenga` digelar, biasanya banyak anak-anak muda yang terlibat dalam ritual tersebut segera melangsungkan pelamaran, lalu dinikahkan," kata Usman.



                                            Nilai Sakkral

Masyarakat Wakatobi hingga kini masih terus melestarikan ritual adat `Kauenga` karena tradisi peninggalan para leluhur itu, masih dianggap mengandung nilai-nilai sakral .

Tradisi `Kabuenga` masih tetap diyakini masyarakat setempat sebagai ajang mencari jodoh yang masih tetap relevan di tengah perkembangan teknologi informasi seperti sekarang ini.

"Boleh saja anak-anak muda lain jenis saling mengenal dan menyatakan cinta lewat SMS, namun pernyataan cinta lewat alat komunikasi itu tidak mengandung nilai-nilai sakral seperti di dalam ritual `Kabuenga`," kata tokoh adat masyarakat Wakatobi lainnya, La Ode Taufik (56).

Tradisi Kabuenga` dianggap memiliki nilai sakral karena ritual tersebut diawali dengan prosesi ritual do`a oleh dua orang tetua adat yang telah ditunjuk oleh lembaga adat.

Tetua adat pertama membacakan doa selamat, meminta keberkahan ritual Kabuenga kepada sang khalik, Allah yang mencitapkan alam semesta beserta isinya.

Sedangkan tetua adat kedua membacakan doa tolak bala, memohon kepada Allah agar menjauhkan masyarakat dari segala marabahaya.

Usai prosesi pembacaan doa, tetua adat laki-laki dan tetua adat perempuan kemudian mendudukkan dua muda mudi berlainan jenis di atas Kabuenga atau ayunan lalu diayun beramai-ramai.

"Biasanya, setelah anak-anak muda didudukan di Kabuenga bisa segera menemukan pasangan atau jodoh, lalu menikah," kata Taufik.

Artis nasional Zaskia Meca dan Hanung Bramantio ujarnya, melangsungkan pernikahan hanya beberapa minggu setelah mengikuti prosesi tradisi kabuenga di Wakatobi.

                                                                       Ikon budaya

Di masa kini, tradisi Kabuenga di Wakatobi tak lagi sekedar menjadi ajang mencari jodoh bagi kaum muda mudi seperti masa lampau, melainkan sudah menjadi ikon budaya di kabupaten tersebut.

Pada setiap ivent nasional maupun internasional seperti Pertemuan Pemuda Nusantara, Perkemahan Imliah Remaja Nasional, `Round Table Meeting` negara-negara Asia Tenggara atau menyambut peserta Sail dari berbagai negara, pemerintah bersama masyarakat selalu menggelar ritual Kabuenga.

"Kami pemerintah Kabupaten Wakatobi sudah menjadikan tradisi `Kabuenga`, sebagai salah satu budaya leluhur yang dipertontonkan dalam Festival Budaya Wakatobi pada setiap bulan Agustus," kata Bupati Wakatobi, Hugua.

Festival Budaya Wakatobi sendiri saat ini sudah ditetapkan dalam kalender pariwisata nasinoal itu.

Ajang pentas budaya yang digelar pada setiap bulan Agutus tersebut, selain tradisi Kabuenga masyarakat Wakatobi juga menggelar ritual `Bangka Mbule-mbule`.

`Mbangka Mbule-mbule` merupakan tradisi masyarakat Wakatobi melarung sesajen di tengah laut yang diarak ratusan bahkan ribuan perahu nelayan.

Dalam tatanan masyarakat Wakatobi, sesajen yang dilarung di tengah laut tersebut sebagai permohonan kepada penguasa alam laut agar melimpahkan rejeki para nelayan saat melaut.

Selain itu sesajen yang dilarung juga sebagai permohonan kepada penguasa alam laut agar menjauhkan para nelayan dari marabahaya gelombang laut perairan laut Wakatobi yang pada kondisi tertentu sangat ganas.

"Dulu, nelayan Wakatobi menggelar ritual `Mbangka Mbule-mbule` sekali dalam setahun. Ritual ini meruparakan tradisi masyarakat Wakatobi dari etnis Bajo," kata bupati Hugua.

Ritual tersebut kata dia, digelar pada setiap musim paceklik ikan dan kondisi cuaca wilayah perairan laut Wakatobi sedang tidak bersahabat dengan para nelayan.

"Wakatobi memiliki banyak budaya peninggalan leluhur yang hingga saat ini masih tetap dipertahankan dan dilestarikan. Bahkan dua warisan leluhur yang bukan benda, `Kabanti` dan Tari Lariangi sudah ditetapkan sebagai wisaran budaya nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," katanya.

Saat ini, Pemerintah Kabupaten Wakatobi bersama pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedangkan berjuang mengusulkan ke pihak Unesco agar dua wirisan bukan benda dari leluhur masyarakat Wakatobi tersebut diakui sebagai warisan budaya bukan benda oleh Unesco.

Pewarta : oleh Agus
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024