Ternate   (Antara News) - Sri Sultan Tidore Husen Alting akhirnya menyatakan menolak rencana pengusulan pemekaran Sofifi menjadi daerah otonom baru, berpisah dari Kota Tidore Kepulauan, karena alasan menjadi Ibu Kota Provinsi Maluku Utara.

         "Alasan syarat-syarat pemekaran Sofifi menjdai Ibu Kota Provinsi Maluku Utara belum terintegrasi, seperti sarana infrastruktur penunjang belum juga dilengkapi, kemudian lagi kebutuhan-kebutuhan dasar yang belum memadai dan sebagainya sesuai dengan isyarat dalam undang-undang yang berlaku, sehingga Sofifi harus tetap berada di wilayah otonom Kota Tidore Kepulauan," katanya di Ternate, Jumat.

         Untuk itu, Sultan Tidore kemudian meminta syarat-syarat tersebut dipenuhi terlebih dahulu, sebelum dilakukan pemekaran.

         Dia juga mempertanyakan menyangkut dengan berbagai kebutuhan dasar, seperti rumah sakit, Kantor Polda Maluku Utara, Pengadilan Tinggi, Badan Pusat Statistik, dan sarana penunjang lainya yang tidak berani mengambil risiko beraktifitas di daerah tersebut.

         Hal itu, katanya, menandakan bahwa, Sofifi belum layak untuk dimekarkan menjadi ibu kota provinsi.

         "Selain karena berdasarkan fakta di lapangan, fasilitas tersebut belum berani mengambil resiko beraktifitas di Sofifi," katanya.

         Dia mengatakan jika pada masa mendatang syarat tersebut telah dilengkapi, pihaknya siap melepaskan Sofifi untuk dimekarkan menjadi Ibu Kota Provinsi Maluku Utara.

         "Dan kalau syaratnya sudah terpenuhi, untuk apa kita berdebat lagi," katanya.

         Ia menjelaskan kepada Pemprov Maluku Utara, bahwa karena daerah induk Sofifi masih di Kota Tidore Kepulauan maka yang harus dibahas terlebih dahulu, yaitu arah pembangunan kota itu.

         "Kota Tidore Kepulauan mau dibuat apa ke depan nanti. Itu dulu yang harus dibahas baru masyarakat Kota Tidore Kepulauan bisa bersama-sama mendorong Sofifi menjadi ibu kota provinsi," katanya.

         Namun, katanya, jika sepanjang hal itu tidak dibahas maka sama halnya dengan pemprov menganggap remeh  Kota Tidore Kepulauan.

          Menurut dia, hal itu seharusnya menjadi bahan diskusi antara Pemprov Malut, Pemkot Tidore, dan pihak masyarakat adat di jazirah Kesultanan Tidore.

         "Konkretnya menganggap remeh Tidore, karena yang dihitung saat ini kan faktor historis, atau dalam bahasa orang Tidore minimal ada ngau ma bilang bahasa adat setempat yang mengajarkan kita bergaul dengan baik," katanya.

         Ia mengemukakan pentingnya memperhatikan kearifan lokal.

         "Dalam dimensi itu, orang Tidore akan arif dan bijaksana untuk mendorong itu. Ini yang harus menjadi bahan diskusi antara Pemprov Malut, Kota, dan masyarakat adat Kesultanan Tidore sesuai dengan adat istiadat Kesultanan," katanya.

Pewarta : Abdul Fatah
Editor : Sarjono
Copyright © ANTARA 2024