Jakarta (Antara News) - Masyarakat Jepang merasa malu karena wasit Yuichi Nishimura melakukan hal kontroversial pada laga pembuka Piala Dunia 2014 di Brazil.

Sedangkan Kroasia sedih karena kalah dan merasa diperlakukan tidak adil oleh Nishimura, malah pelatihnya  mengancam akan angkat koper dari Brazil.

Ada dua kata kunci pada pembuka Piala Dunia 2014,  malu dan sedih! Dua kata sifat ini memiliki indikasi "kejiwaan" sehingga amat cepat melekat dan amat lama melekang, bahkan dalam event akbar setingkat Piala Dunia akan menjadi catatan miring dalam torehan sejarah.

Nishimura dianggap menolong tuan rumah Brazil menang 3-1 atas Kroasia, dengan memberikan hadiah tendangan penalti pada Brazil, dan insiden itu sekaligus dianggap mengawali tindak tercela pada turnamen FIFA itu.  

Isi media sosial di Jepang memberikan berbagai komentar tentang keputusan resmi wasit itu, umumnya mencela tindakannya dan menyatakan mereka merasa malu sebagai orang Jepang.  

"Nishimura melakukan banyak hal bagus," demikian ditweet @shinokc. "Tapi seharusnya itu bukan penalti. Saya sedih melihat Kroasia dan malu dengan tindakan wasit Jepang."

Mengomentari ucapan pelatih Kroasia, Niko Kovac, yang menyatakan Nishimura sudah melakukan hal di luar batas kelayakan, @sanadamasayuki2 mengatakan: "Pekerjaan amat berat bagi wasit Jepang. Tapi jangan sampai memalukan."

Rakyat Jepang merasa tertekan di berbagai belahan dunia, di antaranya ketika @chizurufgarcia di Argentina mendapat pertanyaan dari reporter lokal untuk mengomentari tentang sikap Nishimura.  

Nishimura (42) adalah wasit internasional sejak 2004 dan sudah bertugas di berbagai turnamen besar termasuk Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.  

Striker Brazil Fred membantah tuduhan ia melakukan penipuan (diving) untuk mendapatkan tendangan penalti sehingga mereka menang 3-1 atas Kroasia pada pembukaan laga Piala Dunia, Jumat.  

Mengomentari kontak fisik dengan pemain Kroasia Dejan Lovren, Fred mengatakan, "Ia menjatuhkan saya sehingga jauh dari bola dan gagal menciptakan gol."  

Fred terjatuh pada menit ke-69 pada laga Grup A Kamis ketika kedudukan imbang 1-1. Wasit dari Jepang Yuichi Nishimura dengan cepat menunjuk titik putih, membuat galau pemain Kroasia, dan Neymar menjadi algojo penendang penalti.  

"Itu benar-benar penalti, bukan dibuat-buat," kata Fred dalam jaringan televisi Konfederasi Sepak Bola Brazil, Jumat, ¿Saya menjinakkan bola dan sudah akan berputar. Tapi saya mendapat terpaan pada bahu saya, saya kehilangan keseimbangan dan jatuh. Saya bukan tipe pemain yang menjatuhkan diri sendiri ke rumput."  

Komentar Fred itu tentu menguatkan betulnya keputusan sang wasit. Massimo Busacca, ofisial FIFA yang bertanggung jawab atas wasit dunia pada jajaran badan sepak bola dunia itu, mengatakan kepada wartawan di Rio de Janeiro, keputusan Nishimura itu sudah tepat.  

"Wasit itu berada pada posisi yang baik," katanya mengomentari wasit berusia 42 tahun itu.  

Pelatih Kroasia Niko Kovac berang dengan kejadian itu dan ia menyerang ofisial pertandingan.  

"Bila kami diperlakukan seperti ini di Piala Dunia, lebih baik kami pulang," kata Kovac, "Kami berbicara tentang rasa hormat dan sikap itu tidak menunjukkan rasa hormat. Kroasia tidak mendapatkan apa-apa. Bila itu penalti, maka kami tidak perlu lagi bermain bola. Mari kita bermain bola basket saja," katanya.  

Insiden ini juga bias memalukan bagi FIFA, setelah berbulan-bulan terjadinya protes publik di Brazil dan badan sepak bola dunia itu sedang dalam usaha menghapuskan dugaan terjadinya korupsi atas pemilihan mereka agar Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.  

                                "Vetreni" sedih
Kroasia sedih dan kecewa setelah tim nasional mereka yang dikenal dengan julukan 'Fiery Ones' (Vatreni = berapi-api), kalah 1-3 atas tuan rumah Brazil.  

Ribuan pendukung menyaksikan pertandingan itu di teras kafe di kota serta di sepanjang jalan di berbagai tempat di Kroasia yang dipasang layar raksasa di beberapa tempat.  

"Amat menyedihkan, wasit menghancurkan harapan kami," kata Goran Vlahic (28) dengan nada sedih, ketika meninggalkan lapangan bersama teman wanitanya.  

"Menyedihkan. padahal kami sudah melakukan yang terbaik..saya kecewa," katanya.

Media Kroasia melukiskan pertandingan itu sebagai "pertandingan terbesar dalam sejarah sepak bola Kroasia" dan masyarakat seluruh negara itu dicengkeram pesona Piala Dunia, kendati kiprah mereka di laga pertama itu berakhir menyedihkan.  

Kroasia pantas bersedih, karena mereka amat mendambakan lolos dari penyisihan grup. Negara ini baru bergabung FIFA pada 1991 dan dengan mengejutkan berada di urutan ketiga pada Piala Dunia 1998 di Perancis.  

Kroasia secara beruntun lolos ke Piala Dunia 2002 dan 2006 tapi pada dua kompetisi itu mereka tidak lolos dari fase grup. Pada Piala Dunia 2010 Kroasia gagal lolos ke kompetisi yang digelar di Afrika Selatan  dan di Piala Dunia 2014 mereka lolos setelah menang di babak play-off dengan mengalahkan Islandia dengan  agregat 2-0.  

Piala Dunia membangkitkan rasa patriotisme di Kroasia yang sedang dilanda resesi untuk tahun keenam dan tingkat pengangguran mencapai 22 persen. Ekonom negara itu memperhitungkan dengan bermain di Brazil, ditengarai perekonomian negara akan meningkat sampai 50 juta euro (68 juta dolar), atau sekitar 0,35 persen. Perhitungan ini meningkat bila mereka lolos ke putaran berikutnya.  

Kroasia pantas merasa sedih, karena mereka amat mendambakan kemenangan untuk mengangkat moral negara dan bangsa yang sedang dilanda berbagai masalah, karena sepak bola dianggap mampu menjadi pemompa semangat rakyatnya yang sedang berusaha keras menaikkan taraf hidup dan kehidupan mereka.  

                               Rasa malu penting
Malu dan sedih adalah salah satu tanda emosional dari seseorang yang bisa dipercaya. Ini merupakan bagian dari perekat sosial yang menumbuhkan kepercayaan dan kerja sama dalam kehidupan sehari-hari.  

Psikolog sosial UC Berkeley, Robb Willer dalam Journal of Personality and Social Psychology (2011)  mengatakan, rasa malu dan sedih amat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, baik pada manusia secara perorangan mau pun secara sosial.  

Ausubel dalam Warren (1995) menyatakan, rasa malu, sedih, senang maupun bersalah, merupakan mekanisme paling penting bagi seseorang dalam bermasyarakat dan rasa itu berasal dari individu tapi juga bersifat sosial.  

"Tidak ada yang dapat memastikan seseorang benar-benar merasa bersalah akan suatu hal kecuali dirinya sendiri, sekalipun publik mungkin menyatakan ia bersalah. Namun pada sisi lain, perasaan malu merupakan emosi sosial lanjutan dari kecemasan atau dipermalukan, karena itu lebih pada kesadaran publik," kata Ausubel.  

Setiap orang mempunyai rasa malu, entah besar ataupun kecil. Malu itu merupakan kekuatan preventif guna menghindar dari kehinaan atau terulangnya kesalahan serupa.  

Akan tetapi, rasa malu itu bisa luntur dan pudar, hingga akhirnya lenyap (mati) karena berbagai sebab.

"Jika malu sudah mati dalam diri seseorang, berarti sudah tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari dirinya. Jika engkau tidak tahu malu lagi, perbuatlah apa saja yang engkau kehendaki." (HR Bukhari dan Muslim).  

Kroasia dan Jepang memiliki ¿hati mulia¿, masih memiliki rasa malu dan sedih, karena mereka secara perorangan dan sosial ingin adanya keadilan dan kejujuran dalam pertandingan Piala Dunia. Mereka juga menginginkan kemenangan untuk meningkatkan harkat bangsa dan rasa patriotisme rakyatnya.  

Mereka bukan bangsa yang para petingginya tidak memiliki urat malu,  karena saling berebut menggerogoti kekayaan alam dan harta milik negara!

Pewarta : Oleh A.R. Loebis
Editor :
Copyright © ANTARA 2024