Makassar,  (Antara News) - Emansipasi perempuan di kancah politik telah muncul pada era prakemerdekaan, kemudian berlanjut pada era kemerdekaan hingga kran reformasi mulai dibuka pada 1998.

         Hanya saja regulasi yang mengesahkan peluang perempuan dapat berpartisipasi maksimal baru terbit sepuluh tahun berikutnya yang ditandai dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang didalamnya menerangkan kuota 30 persen bagi perempuan untuk berkiprah di panggung politik.

        Regulasi itu kemudian menjadi kartu kunci bagi perempuan yang mencoba terjun di dunia politik. Perlahan tapi pasti, panggung politik yang memiliki stigma patriarki sudah mulai terkikis dengan munculnya sejumlah legislator perempuan di tingkat DPR RI, DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

        Hanya saja dalam perkembangan beberapa kali Pemilu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melansir bahwa meskipun jumlah perempuan di parlemen mengalami peningkatan yaitu dari 11,3 persen pada Pemilu 2004 menjadi 18 persen pada Pemilu 2009, tetapi angka ini masih jauh dari yang dicita-citakan, yakni 30 persen menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008.            
Untuk memenuhi UU tersebut, partai politik selaku kontestan Pemilu legislatif 2014, juga masih keteteran memenuhi kuota 30 persen perempuan calon legislatif yang diusung partai bersangkutan.

        Akibatnya, tak heran jika Parpol yang melibatkan perempuan sebagai caleg terkesan kental dengan nepotisme dan kroncoisme, karena hanya mengusung anggota keluarga atau kerabat dari para pengurus partai. Sementara kompetensi caleg perempuan, hanya menjadi persyaratan nomor urut sepatu.

        Mencermati hal tersebut di Sulsel, pengamat komunikasi politik dari Universitas Muslim Indonesia Makassar, Hadawiah, mengatakan, partai politik perlu mendorong partisipasi politik perempuan di daerah.

        "Meskipun sudah ada undang-undang yang memberikan jaminan untuk partisipasi perempuan dalam berpolitik dengan kuota 30 persen, namun itu masih sulit dipenuhi di lapangan," kata Hadawiah.

        Dia mengatakan, partisipasi politik perempuan di daerah yang masih rendah itu menyumbang akumulasi partisipasi politik perempuan secara nasional yang juga masih rendah.

        Kondisi itu pula menyebabkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif pun rendah, sebagai gambaran dari 75 anggota dewan di DPRD Provinsi Sulsel periode 2009 - 2014, hanya empat orang di antaranya legislator perempuan atau hanya mewakili sekitar 12,5 persen perempuan di daerah ini.

        Berkaitan dengan hal tersebut, kata Hadawiah, Parpol sebagai organisasi yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat,  memiliki kewajiban utama untuk mendorong perempuan berpartisipasi di bidang politik.

        Hal itu untuk menindaklanjuti regulasi yang membuka ruang partisipasi bagi perempuan di bidang politik.

        "Jadi, pendidikan politik bagi perempuan mutlak harus dilaksanakan oleh setiap Parpol. Bukan hanya menjelang Pemilu atau Pilkada baru gencar melakukan sosialisasi ataupun menggelar pendidikan poltik," katanya.

        Perempuan dari segi jumlah, masih dominan di masing-masing daerah, sehingga harus menjadi perhatian khusus. Apabila itu dapat dilihat sebagai suatu potensi bagi Parpol, tentu itu tidak akan disia-siakan.  
      
   Mata Rantai

   Partisipasi politik perempuan bukan hanya dilihat dari seberapa banyak perempuan yang menjadi caleg dan yang terpilih mendapatkan kursi di lembaga perwakilan rakyat, tetapi juga dilihat dari partisipasinya menggunakan hak pilih.

       "Ada kecenderungan di lapangan, jika sebagian besar yang menjadi Golput pada saat Pemilu adalah perempuan. Ini karena jumlah perempuan memang cenderung lebih banyak dibandingkan laki-laki di setiap daerah,  sehingga harus dicari masalah utama penyebab perempuan menjadi golput," kata pengamat politik dari Universitas Hasanuddin Aswar Hasan.

        Menurut dia, ada beberapa penyebab perempuan menjadi golput, di antaranya karena kesibukan mengurus rumah tangga, ketidakpahaman untuk menjadi bagian dalam pesta demokrasi itu, dan karena kurangnya informasi yang diterima, baik melalui personal maupun melalui media.

        "Jadi, semua itu menjadi tantangan bagi politikus partai dan pemerintah yang memiliki kewajiban memberikan pendidikan politik pada masyarakat umum dan perempuan pada khususnya dalam memenuhi amanat Undang-Undangan Pemilu," katanya.

        Selain itu, juga menjadi "PR" tersendiri bagi para caleg perempuan untuk membangun kesadaran politik kaumnya, dengan harapan bahwa persoalan perempuan harus mendapatkan dorongan dari perempuan sendiri, karena diyakni lebih memahami dan mengetahui kebutuhan perempuan di lapangan.

        Karena itu, wajarlah jika lebih dari 10 lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Sulsel yang fokus pada isu perempuan dan anak saat memperingati Hari Perempuan se-dunia pada 8 Maret 2014, mendesak dan mengamanahkan para caleg, khususnya caleg perempuan ketika terpilih nanti dapat memperjuangkan aspirasi perempuan.  
   Hal tersebut dikemukakan Ketua LBH-APIK Makassar Rosmiati Sain bahwa kasus yang menjadikan perempuan sebagai korban masih tinggi secara nasional, begitu pula di Sulsel yang tercatat sebanyak1.224 kasus sepanjang 2013.

        "Dari jumlah tersebut, kasus pelecehan seksual yang tertinggi, menyusul kekerasan dalam rumah tangga. Ini semua akan menjadi amanah bagi caleg ketika terpilih nanti," ujarnya.

        Mereka bukan menjadi perwakilan rakyat yang hanya datang, duduk dan diam (3D) di "rumah rakyat", tanpa mau memperjuangkan kaum perempuan yang masih banyak terkait dengan persoalan hak kesehatan reproduksi, hak atas pendidikan yang berkualitas, berkeadilan gender dan menghargai keberagaman.

        Dan yang tak kalah pentingnya adalah hak atas pekerjaan yang layak bagi perempuan, dengan memberikan perlindungan terhadap buruh migran, pekerja rumah tangga (PRT)  migran dalam dan luar negeri, buruh perempuan dan sektor informal lainnya.

        Itu merupakan bagian dari mata rantai persoalan di lapangan yang harus diinventarisir oleh caleg, kemudian ditindaklanjuti pada saat menduduki kursi legislatif.

        Harapan masyarakat ke depan adalah munculnya legislator perempuan yang handal dan vokal menyuarakan aspirasi rakyat, termasuk menyuarakan apirasi perempuan yang mungkin pada periode sebelumnya, hanya dapat dihitung dengan jari legislator perempuan yang sesuai dengan sosok dambaan masyarakat itu.

        Mencermati fenomena itu, Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia  bekerjasama dengan 10 mitra lokal di 10 provinsi di Indonesia yang mendapat dukungan dari The Asia Foundation dan Norwegian Embassy memberikan kursus bagi caleg perempuan.

        Khusus di Kota Makassar, mitra lokal yang dilibatkan adalah Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) untuk memberikan kursus tentang "Strategis Pemenangan Caleg Perempuan pada Pemilu 2014".

        Menurut Badan Pekerja LSKP Makassar Salma Tadjang, kegiatan yang digelar pada akhir 2013 itu bertujuan untuk memfasilitasi proses pembelajaran dan dialog para caleg perempuan DPRD untuk mempersiapkan diri secara lebih matang dalam menghadapi Pemilu 2014.

       "Jadi, mereka diberikan pengetahuan misalnya pemahaman peta persaingan, menyiapkan kampanye, dan mengamankan suara," katanya.

       Kegiatan tersebut ditujukan bagi caleg perempuan DPRD provinsi dan kabupaten/kota, khususnya bagi yang tidak sedang menjabat sebagai anggota DPRD, memiliki rekam jejak dalam aktivitas sosial kemasyarakatan, memiliki konsistensi pada isu yang diperjuangkan, serta bersedia secara penuh mengikuti kegiatan kursus strategis itu.

       Dengan pembekalan peningkatan kapasitas itu, kata Salma, diharapkan keterwakilan perempuan dalam parlemen dapat tercapai, sekaligus sebagai bentuk dorongan atas ketertinggalan perempuan dalam dunia politik selama ini.

Pewarta : Oleh Suriani Mappong
Editor :
Copyright © ANTARA 2024