Bencana demi bencana yang menimpa masyarakat di berbagai belahan dunia saat ini, diyakini banyak pihak sebagai wujud dari kemarahan alam.

Alam marah, karena manusia mengeruk sember daya alam dan membabat pohon di bumi sudah berlebihan sehingga keseimbangan alam menjadi terganggu.

"Bagaimana alam tidak marah kalau pepohonan bumi dibabat tanpa kendali dan sumber daya alam di dalam perut bumi dikeruk habis-habisan tanpa memperbaiki kembali kerusakan yang timbul," kata budayawan Buton, La Ode Mahmud (69) di Baubau, Sulawesi Tenggara pekan lalu.

Di masa lampau lanjutnya, masyarakat tidak akan mengambil sesuatu dari alam, sebelum memberikan sesuatu kepada alam.

Itu karena masyarakat meyakini alam dengan segala kemurahannya, akan mengembalikan lebih dari apa yang diberikan kepadanya.

Mahmud lalu memberikan contoh kemurahan alam ketika diberikan sesuatu, misalnya diberikan atau ditanami satu biji jagung.

Dengan segala kemurahannya, alam akan mengembalikan jagung tersebut dalam bentuk tongkol yang di dalamnya terdapat puluhan bahkan ratusan biji jagung.

"Kemurahan alam ini yang dilupakan oleh generasi muda sekarang. Mereka pikir, alam ini seperti benda mati, yang jika diperlakukan semena-mena tidak akan menimbulkan reaksi apa-apa," katanya.

Padahal ujar budayawan itu, kalau dipahami secara mendalam, alam ini sama seperti tubuh manusia, sama-sama sebagai ciptaan Tuhan yang didalammnya terdapat sistem kehidupan.

Kalau salah satu dari organ tubuh manusia terganggu, seluruh bagian tubuh akan merasa terganggu pula.

Demikian pula dengan alam atau bumi, kalau bagian-bagian bumi dikeruk atau diganggu, alam pasti terganggu dan marah.

Jika diibaratkan tubuh manusia, alam juga perlu pengobatan atau rehabilitasi dari kerusakan yang ada.



Satu kelahiran satu pohon

Di masa lampau, dalam tananan masyarakat Buton menurut Mahmud, selalu menandai satu kelahiran anak dengan satu pohon.

Tradisi tersebut merupakan implementasi dari petuah para leluhur, "Jangan mengambil sesuatu dari alam sebelum memberikan sesuatu kepada alam".

Artinya, ketika orangtua menandai kelahiran anaknya dengan satu pohon, maka ketika si anak tumbuh besar dan mengambil sesuatu dari alam dianggap sudah memenuhi petuah tersebut.

Dia mengambil sesuatu dari alam, karena orangtuanya telah memberikan pohon kepada alam saat yang bersangkutan lahir.

"Harapan leluhur, si anak dapat mencintai pohon sama seperti mencintai dirinya. Ketika mengambil pohon dari alam, ia harus menanam pohon kembali di alam," katanya.

Kalau prilaku seperti ini terus dibudayakan di tengah kehidupan masyarakat sekarang, ujarnya, alam tidak akan murka.

Alam maupun siklus karbon dioksida dan oksigen di atmosfir bumi, tidak akan terganggu, sehingga manusia bisa hidup tentram dan sejahtera.

"Kemurkaan alam kepada manusia di muka bumi ini, karena ulah manusia sendiri. Kita terlalu kejam dan serakah dalam memperlakukan alam," katanya.

Keterangan serupa juga disampaikan Hugua, penggiat lingkungan yang saat ini menjabat bupati Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Menurut dia, musibah banjir yang melanda berbagai belahan dunia saat ini, sebagai akibat dari ulah manusia yang memperlakukan alam secara semena-mena.

Dalam pandangan Hugua, semua yang tersedia di muka sesungguhnya tidak ada yang hilang, kecuali hanya berubah wujud dan berpindah tempat.

"Misalnya lahan tambang emas atau nikel, tanahnya dikeruk, lalu berubah menjadi nikel atau emas dan berpidah tempat. Atau pohon ditebang, kayunya lapuk lalu menjadi tanah," katanya.

Ketika perubahan wujud dan perpindahan benda dari satu tempat ke tempat lain tersebut berlangsung secara tidak teratur dan di luar sistem yang ada di dalam bumi ujarnya, bumi pasti terganggu.

Makanya, setiap mengeruk atau mengambil sesuatu dari bumi, seyogyanya harus diberikan sesuatu di bumi untuk mengembalikan keseimbangannya.

"Kalau manusia di muka bumi membudayakan ini, selalu mengembalikan sesuatu setelah mengambil sesuatu dari bumi, bencana alam yang namanya banjir dan tanah longsor bisa dihindari," katanya.



Masa Depan Bumi

Sebagai mantan aktivis lingkungan, Hugua menilai kearifan budaya lokal masyaraat dalam memnfaatkan berbagai potensi sumber daya alam tersebut, akan menjadi penentu dari masa depan dunia.

"Kalau pemerintah daerah gagal membangkitkan kearifan budaya lokal di masing-masing wilayah, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam, dunia dalam ancaman bencana demi bencana," katanya.

Ia mengatakan dalam membangkitkan kearifan budaya lokal, para bupati/wali kota memiliki peran paling strategis.

Karena memang, di dalam wilayah kekuasaan bupati/wali kota selain memiliki berbagai potensi sumber daya alam, juga terdapat pribadi, keluarga dan masyarakat bertempat tinggal.

Kecuali itu, di wilayah kekuasaan bupati/wali kota juga menjadi tempat para pemimpin genius lokal lahir dan bermukim.

"Berbagai potensi sumber daya alam yang terdapat di wilayah kekuasaan bupati/wali kota, menjadi sumber kesejahteraan masyarakat lokal dan global," kata Hugua.

Oleh karena itu dalam mengelola berbagai potensi sumber daya alam yang tersedia sebagai sumber kesejahteraan masyarakat lokal dan global tersebut, bupati/wali kota harus merujuk pada pengelolaan sumber daya alam yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

"Masyarakat lokal sangat piawai dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang ramah lingkungan dan berkelanjutan," katanya.

Makanya, jika bumi bisa selamat dari ancaman bencana demi bencana, bupati/wali kota perlu dan harus membangkitkan kearifan budaya lokal dalam memenafaatkan dan mengelola berbagai potensi sumber daya alam yang tersedia.

"Leluhur masyarakat lokal tidak akan mengambil sesuatu dari alam, sebelum memberikan sesuatu kepada alam. Jika kearifan budaya lokal dari leluhur itu terus dibudayakan, keseimbangan alam akan tetap terjaga dari masa ke masa," kata Hugua.


Pewarta : oleh Agus
Editor :
Copyright © ANTARA 2024