Atambua (Antara News) - Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri mengundang Bupati Belu Joachim Lopez untuk membahas polemik pilkada di wilayah batas negara RI-Timor Leste yang tertunda pelaksanaannya hingga saat ini.

 "Undangan sudah kita terima dan pertemuan akan digelar pada Jumat (11/10) mendatang," kata Bupati Belu Joachim Lopez di Atambua, Ibu Kota Kabupaten Belu, Selasa.

Dia mengatakan, dalam undangan yang disampaikan tersebut, tertera pertemuan itu akan juga diikuti oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya, pimpinan DPRD Kabupaten Belu serta Komisi A DPRD Kabupaten Belu.

Dikatakannya, pertemuan bersama Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri tersebut, merupakan tindaklanjut pelaksanaan pertemuan sebelumnya yang dilakukan bersama Gubernur Nusa Tenggara Timur, bersama Komisi Pemilihan Umum daerah itu di Kupang, Jumat (4/10) lalu.

Dia mengatakan, dalam pertemuan tersebut, disepakti polemik Pilkada Belu perlu dibicarakan lagi dengan Pemerintah Pusat di Jakarta, melalui Kementerian Dalam Negeri.

Menjawab polemik Pilkada Kabupaten Belu yang tertunda sebagai akibat dari perbedaan penafsiran masing-masing antara Pemerintah Kabupaten Belu dan Komisi Pemilihan Umum setempat, tentang keikutsertaan Kabupaten Malaka, untuk kepentingan politik tertentu, Joachim mengaku tidak tahu. "Itu di luar kewenangan saya untuk menjawab. Namun, yang pasti perlu dibicarakan bersama Pemerintah Pusat di Jakarta," ucapnya.

Kepala Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Welem Fony mengatakan, forum bersama yang membahas masalah Pilkada Belu yang dilaksanakan pada 4 Oktober lalu, telah bersepakat melakukan konsultasi dengan Pemerintah dan KPU pusat, untuk memperoleh payung hukum bagi penyelenggaraan Pilkada Belu.

         Payung hukum yang diperlukan antara lain mengatur tentang keterlibatan Daerah Otonomi Malaka dalam Pilkada Belu dan alokasi anggaran untuk membiayai pelaksanaan tahapan Pilkada Belu.

"Pada prinsipnya, sudah ada titik terang, tetapi karena waktu sudah sangat terbatas dan juga masuknya DOB Malaka sebagai daerah yang sudah menjadi kabupaten sendiri dalam Pilkada Belu, sehingga perlu ada payung hukum dari pemerintah dan KPU Pusat," ucapnya.

Ia mengatakan, payung hukum diperlukan untuk memberi perlindungan bagi penyelenggara dan pemerintah daerah, karena Pemerintah Pusat sudah memberi batas waktu pelaksanaan pemungutan suara pilkada putaran pertama 31 Oktober 2013.

"Pemerintah dan DPRD Belu tidak ingin terjebak dalam masalah hukum karena menggunakan uang daerah untuk membiayai pelaksanaan pilkada yang melibatkan DOB baru Malaka. Mereka memerlukan payung hukum," ujarnya yang dihubungi terpisah.

Dengan adanya payung hukum, maka pemerintah dan DPRD Belu dapat mengambil keputusan-keputusan seperti mengalokasikan anggaran untuk membiayai pelaksanaan pilkada bagi masyarakat di 24 kecamatan di Kabupaten di Belu dan Malaka.

Pelaksanaan Pilkada Belu mengalami kebuntuan karena Pemerintah Kabupaten Belu keberatan dengan keputusan KPU untuk menggabungkan Daerah Otonomi Baru Malaka yang sudah resmi memisahkan diri dari kabupaten induk pada April 2013 lalu dalam Pilkada Belu.

Keberatan pemerintah ini kemudian berdampak pada penyerahan DP4 dan alokasi anggaran untuk pelaksanaan pilkada, sehingga KPU tidak bisa melaksanakan tahapan pilkada yang seharusnya digelar bersamaan pada 5 Agustus 2013.

Pewarta : Oleh Yohanes Adrianus
Editor :
Copyright © ANTARA 2024