Jakarta, (Antara News) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) merekomendasikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera membentuk tim independen terkait kontroversi Densus 88.
"Kontras merekomendasikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera membentuk tim independen mengusut telah terjadinya sejumlah tindakan pelanggaran HAM lainnya oleh Densus 88 dari operasi Sogili di Poso," kata Koordinator Badan Pekerja Kontras Haris Azhar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Selain itu, ujar Haris Azhar, pemerintah dan DPR perlu mengevaluasi pelaksanaan Undang-Undang 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Bahkan jika perlu, menurut dia, hingga merevisi substansi-substansi pasal yang berbahaya.
Kontras mencatat pemberian kewenangan secara berlebihan kepada aparat keamanan dan penegak hukum antara lain soal penangkapan dan menginterogasi tersangka selama 7x24 jam.
Selain itu, kewenangan lainnya yang dianggap berlebihan adalah menangkap tersangka hanya berdasarkan laporan intelijen dengan atau tanpa otorisasi dari pihak pengadilan.
"Kewenangan-kewenangan berlebih ini telah menyebabkan terjadinya pelanggaran hak dan kebebasan dasar manusia," katanya.
Untuk itu, ia juga mengutarakan harapannya agar penegakan hukum atas kejahatan terorisme bisa dilakukan secara profesional dan tetap memperhatikan martabat manusia.
Sebelumnya, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane mendesak Polri, Pemerintah, dan DPR memperketat kontrol terhadap Densus 88 Antiteror karena pasukan elit tersebut diindikasikan banyak melakukan kekerasan saat menjalankan tugasnya.
"Situasi ini tidak boleh dibiarkan sebab siapa pun di negeri ini, termasuk Densus 88, tidak boleh bersikap semena-mena," ujar Neta.
Di sisi lain, sikap paranoid sebagian masyarakat terhadap isu-isu terorisme seakan memberi legitimasi kepada Densus 88 Antiteror untuk berbuat apa saja.
Sementara itu, Ketua DPR RI Marzuki Alie menyatakan tidak sepakat dengan wacana pembubaran Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Terorisme karena keberadaannya mampu meminimalisir aksi terorisme di Indonesia.
"Kalau Densus 88 ada kelemahan hendaknya diperbaiki, bukan lembaganya dibubarkan," kata Marzuki Alie di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Jumat (1/3).
Ia menjelaskan, teroris telah menjadi kejahatan multinasional yang sangat membahayakan, bukan hanya menimbulkan korban jiwa tapi memberikan dampak lain yang lebih luas.(Ant).
"Kontras merekomendasikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera membentuk tim independen mengusut telah terjadinya sejumlah tindakan pelanggaran HAM lainnya oleh Densus 88 dari operasi Sogili di Poso," kata Koordinator Badan Pekerja Kontras Haris Azhar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Selain itu, ujar Haris Azhar, pemerintah dan DPR perlu mengevaluasi pelaksanaan Undang-Undang 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Bahkan jika perlu, menurut dia, hingga merevisi substansi-substansi pasal yang berbahaya.
Kontras mencatat pemberian kewenangan secara berlebihan kepada aparat keamanan dan penegak hukum antara lain soal penangkapan dan menginterogasi tersangka selama 7x24 jam.
Selain itu, kewenangan lainnya yang dianggap berlebihan adalah menangkap tersangka hanya berdasarkan laporan intelijen dengan atau tanpa otorisasi dari pihak pengadilan.
"Kewenangan-kewenangan berlebih ini telah menyebabkan terjadinya pelanggaran hak dan kebebasan dasar manusia," katanya.
Untuk itu, ia juga mengutarakan harapannya agar penegakan hukum atas kejahatan terorisme bisa dilakukan secara profesional dan tetap memperhatikan martabat manusia.
Sebelumnya, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane mendesak Polri, Pemerintah, dan DPR memperketat kontrol terhadap Densus 88 Antiteror karena pasukan elit tersebut diindikasikan banyak melakukan kekerasan saat menjalankan tugasnya.
"Situasi ini tidak boleh dibiarkan sebab siapa pun di negeri ini, termasuk Densus 88, tidak boleh bersikap semena-mena," ujar Neta.
Di sisi lain, sikap paranoid sebagian masyarakat terhadap isu-isu terorisme seakan memberi legitimasi kepada Densus 88 Antiteror untuk berbuat apa saja.
Sementara itu, Ketua DPR RI Marzuki Alie menyatakan tidak sepakat dengan wacana pembubaran Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Terorisme karena keberadaannya mampu meminimalisir aksi terorisme di Indonesia.
"Kalau Densus 88 ada kelemahan hendaknya diperbaiki, bukan lembaganya dibubarkan," kata Marzuki Alie di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Jumat (1/3).
Ia menjelaskan, teroris telah menjadi kejahatan multinasional yang sangat membahayakan, bukan hanya menimbulkan korban jiwa tapi memberikan dampak lain yang lebih luas.(Ant).