Denpasar (ANTARA News) - Psikiater Prof Dr dr LK Suryani SpKj berpandangan, dewasa ini terjadi kecenderungan semakin muda usia penderita sakit kejiwaan karena anak-anak tidak siap menerima beban pelajaran di sekolah.
Suryani yang juga pendiri dan Direktur "Suryani Institute for Mental Health" itu di Denpasar, Kamis, mengatakan, berdasarkan hasil penelitiannya dan kunjungan ke tempat praktiknya, sudah ada anak SD yang mengalami gangguan jiwa.
Menurut dia, penyebab terbesarnya karena beban pelajaran sekolah, anak-anak dituntut cepat bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Apalagi ditambah mereka harus belajar di sekolah hingga sore hari.
"Tetapi sayangnya guru tidak mau mendidik, maunya mengajar saja," ujarnya.
Ia berharap para guru memahami perkembangan mental anak, jangan memaksa belajar, tetapi hendaknya membuat murid TK serta siswa SD dari kelas I sampai III terangsang mempunyai semangat belajar, mau belajar, dan berani berbicara.
"Sekarang terlalu sedikit waktu santai untuk anak-anak, bahkan TK sudah les. Idealnya sampai kelas III tidak ada PR. Bukankah tidak jarang yang mengerjakan PR pembantu dan orang tua agar anaknya tidak malu?" katanya.
Dengan gaya hidup seperti itu, ketika dewasa, mereka umumnya untuk bangun pagi saja harus dibangunkan dan malas ke kantor serta tidak bisa mengurus diri sendiri.
"Di dalam mendidik, seyogyanya guru jangan menganggap anak sudah tahu macam-macam sehingga tidak perlu dididik calistung. Harusnya anak-anak juga diajak menyanyi dan bercerita untuk mengekspresikan emosi," katanya.
Lewat cerita, lanjut dia, juga untuk memasukkkan nilai baik dan buruk karena para orang tua tidak ada waktu bercerita. Hingga usia 10 tahun adalah masa untuk membuat anak mampu melihat situasi.
"Jika dapat memberikan pendidikan tanpa beban pada anak dan mereka senang, di sanalah akan ada harapan punya masa depan. Kalau orang tua sering ribut apalagi terjadi sejak dalam kandungan, hal itu akan menyulut gangguan jiwa pada anak-anak," ujarnya.
Di sisi lain, ia melihat kecenderungan para orang tua menuntut agar anaknya paling hebat secara akademis, padahal pandai saja sebenarnya tidak cukup. Justru menjadikan anak mandiri dan kreatif jauh lebih penting. Ia tidak memungkiri, memang jika punya anak kreatif berat, anak akan banyak protes dan nakal.
"Seyogyanya biarkan anak berkembang, belajar apa yang diperlukan anak, dan jangan orang tua justru memaksakan kehendak. Adakan waktu ngobrol saat makan dan sebelum tidur," kata Suryani.
Suryani yang juga pendiri dan Direktur "Suryani Institute for Mental Health" itu di Denpasar, Kamis, mengatakan, berdasarkan hasil penelitiannya dan kunjungan ke tempat praktiknya, sudah ada anak SD yang mengalami gangguan jiwa.
Menurut dia, penyebab terbesarnya karena beban pelajaran sekolah, anak-anak dituntut cepat bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Apalagi ditambah mereka harus belajar di sekolah hingga sore hari.
"Tetapi sayangnya guru tidak mau mendidik, maunya mengajar saja," ujarnya.
Ia berharap para guru memahami perkembangan mental anak, jangan memaksa belajar, tetapi hendaknya membuat murid TK serta siswa SD dari kelas I sampai III terangsang mempunyai semangat belajar, mau belajar, dan berani berbicara.
"Sekarang terlalu sedikit waktu santai untuk anak-anak, bahkan TK sudah les. Idealnya sampai kelas III tidak ada PR. Bukankah tidak jarang yang mengerjakan PR pembantu dan orang tua agar anaknya tidak malu?" katanya.
Dengan gaya hidup seperti itu, ketika dewasa, mereka umumnya untuk bangun pagi saja harus dibangunkan dan malas ke kantor serta tidak bisa mengurus diri sendiri.
"Di dalam mendidik, seyogyanya guru jangan menganggap anak sudah tahu macam-macam sehingga tidak perlu dididik calistung. Harusnya anak-anak juga diajak menyanyi dan bercerita untuk mengekspresikan emosi," katanya.
Lewat cerita, lanjut dia, juga untuk memasukkkan nilai baik dan buruk karena para orang tua tidak ada waktu bercerita. Hingga usia 10 tahun adalah masa untuk membuat anak mampu melihat situasi.
"Jika dapat memberikan pendidikan tanpa beban pada anak dan mereka senang, di sanalah akan ada harapan punya masa depan. Kalau orang tua sering ribut apalagi terjadi sejak dalam kandungan, hal itu akan menyulut gangguan jiwa pada anak-anak," ujarnya.
Di sisi lain, ia melihat kecenderungan para orang tua menuntut agar anaknya paling hebat secara akademis, padahal pandai saja sebenarnya tidak cukup. Justru menjadikan anak mandiri dan kreatif jauh lebih penting. Ia tidak memungkiri, memang jika punya anak kreatif berat, anak akan banyak protes dan nakal.
"Seyogyanya biarkan anak berkembang, belajar apa yang diperlukan anak, dan jangan orang tua justru memaksakan kehendak. Adakan waktu ngobrol saat makan dan sebelum tidur," kata Suryani.