Kupang (ANTARA News) - Pengamat Pertanaian Agribisnis dari Universitas Nusa Cendana Kupang Leta Rafael Levis, mengapresiasi sikap tanggap dan antisipatif pemerintah pusat dan daerah menghadapi ancaman kekeringan.
"Kecekatan pemerintah melalui dua lembaga kementerian pertanian dan badan nasional penanggulangan bencana yang sudah jauh hari melakukan antisipasi perlu mendapat apresiasi, semua pihak," katanya di Kupang, Kamis.
Dosen Fakultas Pertanian Undana Kupang itu mengatakan hal itu menanggapi ancaman kekeringan di Indonesia termasuk di 16 kabupaten di NTT dan sikap antisipasi menghadapi ancaman itu.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyelesaikan rencana aksi terpadu menghadapi kekeringan 2012 di sembilan provinsi menjadi prioritas penanganan, yaitu Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua Barat.
Upaya konkrit yang dilakukan adalah distribusi air melalui tangki air, penyediaan pompa air, pembuatan sumur pantek atau sumur bor, hujan buatan, pembangunan embung atau reservoir, dan pengaturan pemberian air untuk pertanian dengan sistem gilir giring.
Dijelaskan, sebanyak 1.500 embung akan dibangun di daerah-daerah hulu dan tengah daerah aliran sungai sebagai tandon air. Sistem pembangunan dengan program padat karya yang melibatkan masyarakat setempat, BPBD, Dinas Pertanian dan Dinas PU.
Hal serupa juga dilakukan Kementerian Pertanian (Kementan) menyiapkan anggaran sebesar Rp199 miliar yang siap digelontorkan menangani kekeringan di seluruh Indonesia.
Anggaran itu bakal diserahkan langsung kepada kelompok tani untuk menghindari pungutan-pungutan liar.
"Untuk penanggulangan puso (gagal panen), kami memberikan bantuan sebagaimana tahun lalu yakni Rp3,7 juta per hektare. Dari jumlah tersebut, Rp2,6 juta untuk bantuan biaya pengolahan lahan dan Rp1,1 juta untuk bantuan pupuk," tutur Menteri Pertanian Suswono di Jakarta, Rabu (5/9).
Suswono menambahkan, total Rp199 miliar tersebut dapat membantu kelompok tani mengatasi kekeringan hingga sedikitnya 65 ribu hektare.
Menurut Leta Levis, sikap dan tindakan itu meskipun masih lebih dominan untuk mengatasi ketimbang mencegah kekeringan yang telah berlangsung setiap tahun, namun tetap perlu mendapat dukungan, dari pada memilih pasrah dan tidak berbuat sesuatu menghadapi ancaman itu.
Ia mengatakan kekeringan menyebabkan krisis air makin meningkat saat ini. Secara global satu dari empat orang di dunia kekurangan air minum, dan satu dari tiga orang tidak dapat sanitasi layak.
Abad 21 air akan menjadi masalah besar dunia karena krisis air akan meningkat dan bahkan diperkirakan dua pertiga penduduk dunia akan kekurangan air pada tahun 2050.
"Di Indonesia krisis air mengalami hal yang sama. Saat musim kemarau, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sudah mengalami defisit air sejak 1995. Defisit air terjadi selama 7 bulan pada musim kemarau. Surplus air berlangsung lima bulan saat penghujan," katanya.
Dia mengatakan, diproyeksikan tahun 2020 potensi air yang ada hanya 35 persen yang layak dikelola yaitu 400 m3/kapita/tahun. Angka ini, kata dia, jauh dari standar minimum dunia 1.100 m3/kapita/tahun.
Sejak tahun 2003 katanya terdapat 77 persen kab/kota di Jawa yang memiliki defisit air selama 1-8 bulan dalam setahun. Bahkan sebanyak 36 kab/kota defisit air 5-8 bulan dalam setahun.
Solusi lain yang perlu dilakukan pemerintah daerah, terutama di NTT yang memiliki 16 kabupaten rawan kekeringan untuk memantapkan ketahanan pangan adalah diversifikasi atau penganekaragaman pangan untuk mencegah dan mengatasi rawan pangan atau ancaman kelaparan.
"Deversifikasi ini mutlak dilaksanakan karena merupakan salah satu solusi untuk mengurangi konsumsi beras yang akhir-akhir ini menjadi pangan utama bagi sekitar 4,7 juta jiwa masyarakat di wilayah berpenghasilan pokok jagung, kacang dan umbi-umbian ini," katanya.
Ia mengatakan saat ini sekitar 68 persen sebagai petani lahan kering. Itu berarti hampir sebagian besar dari mereka berpenghasilan utama jagung, umbi-umbia dan pangan lokal lainnya.
Sehingga menurut kata Leta Levis yang juga Ketua Penyuluh Negeri di NTT itu mengatakan sangat tepat kalau diversifikasi yang telah dicanangkan pemerintah pusat mutlak dilakukan untuk tidak kengangtungkan kebutuhan pemenuhan pangan setiap hari pada beras.
"Kecekatan pemerintah melalui dua lembaga kementerian pertanian dan badan nasional penanggulangan bencana yang sudah jauh hari melakukan antisipasi perlu mendapat apresiasi, semua pihak," katanya di Kupang, Kamis.
Dosen Fakultas Pertanian Undana Kupang itu mengatakan hal itu menanggapi ancaman kekeringan di Indonesia termasuk di 16 kabupaten di NTT dan sikap antisipasi menghadapi ancaman itu.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyelesaikan rencana aksi terpadu menghadapi kekeringan 2012 di sembilan provinsi menjadi prioritas penanganan, yaitu Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua Barat.
Upaya konkrit yang dilakukan adalah distribusi air melalui tangki air, penyediaan pompa air, pembuatan sumur pantek atau sumur bor, hujan buatan, pembangunan embung atau reservoir, dan pengaturan pemberian air untuk pertanian dengan sistem gilir giring.
Dijelaskan, sebanyak 1.500 embung akan dibangun di daerah-daerah hulu dan tengah daerah aliran sungai sebagai tandon air. Sistem pembangunan dengan program padat karya yang melibatkan masyarakat setempat, BPBD, Dinas Pertanian dan Dinas PU.
Hal serupa juga dilakukan Kementerian Pertanian (Kementan) menyiapkan anggaran sebesar Rp199 miliar yang siap digelontorkan menangani kekeringan di seluruh Indonesia.
Anggaran itu bakal diserahkan langsung kepada kelompok tani untuk menghindari pungutan-pungutan liar.
"Untuk penanggulangan puso (gagal panen), kami memberikan bantuan sebagaimana tahun lalu yakni Rp3,7 juta per hektare. Dari jumlah tersebut, Rp2,6 juta untuk bantuan biaya pengolahan lahan dan Rp1,1 juta untuk bantuan pupuk," tutur Menteri Pertanian Suswono di Jakarta, Rabu (5/9).
Suswono menambahkan, total Rp199 miliar tersebut dapat membantu kelompok tani mengatasi kekeringan hingga sedikitnya 65 ribu hektare.
Menurut Leta Levis, sikap dan tindakan itu meskipun masih lebih dominan untuk mengatasi ketimbang mencegah kekeringan yang telah berlangsung setiap tahun, namun tetap perlu mendapat dukungan, dari pada memilih pasrah dan tidak berbuat sesuatu menghadapi ancaman itu.
Ia mengatakan kekeringan menyebabkan krisis air makin meningkat saat ini. Secara global satu dari empat orang di dunia kekurangan air minum, dan satu dari tiga orang tidak dapat sanitasi layak.
Abad 21 air akan menjadi masalah besar dunia karena krisis air akan meningkat dan bahkan diperkirakan dua pertiga penduduk dunia akan kekurangan air pada tahun 2050.
"Di Indonesia krisis air mengalami hal yang sama. Saat musim kemarau, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sudah mengalami defisit air sejak 1995. Defisit air terjadi selama 7 bulan pada musim kemarau. Surplus air berlangsung lima bulan saat penghujan," katanya.
Dia mengatakan, diproyeksikan tahun 2020 potensi air yang ada hanya 35 persen yang layak dikelola yaitu 400 m3/kapita/tahun. Angka ini, kata dia, jauh dari standar minimum dunia 1.100 m3/kapita/tahun.
Sejak tahun 2003 katanya terdapat 77 persen kab/kota di Jawa yang memiliki defisit air selama 1-8 bulan dalam setahun. Bahkan sebanyak 36 kab/kota defisit air 5-8 bulan dalam setahun.
Solusi lain yang perlu dilakukan pemerintah daerah, terutama di NTT yang memiliki 16 kabupaten rawan kekeringan untuk memantapkan ketahanan pangan adalah diversifikasi atau penganekaragaman pangan untuk mencegah dan mengatasi rawan pangan atau ancaman kelaparan.
"Deversifikasi ini mutlak dilaksanakan karena merupakan salah satu solusi untuk mengurangi konsumsi beras yang akhir-akhir ini menjadi pangan utama bagi sekitar 4,7 juta jiwa masyarakat di wilayah berpenghasilan pokok jagung, kacang dan umbi-umbian ini," katanya.
Ia mengatakan saat ini sekitar 68 persen sebagai petani lahan kering. Itu berarti hampir sebagian besar dari mereka berpenghasilan utama jagung, umbi-umbia dan pangan lokal lainnya.
Sehingga menurut kata Leta Levis yang juga Ketua Penyuluh Negeri di NTT itu mengatakan sangat tepat kalau diversifikasi yang telah dicanangkan pemerintah pusat mutlak dilakukan untuk tidak kengangtungkan kebutuhan pemenuhan pangan setiap hari pada beras.