Waetabula,   (ANTARA News) - Unicef, salah satu lembaga PBB yang memperjuangkan hak-hak anak, bertekad menuntaskan program wajib belajar sembilan tahun bagi anak-anak berusia 0-18 tahun pada 2015 di Nusa Tenggara Timur (NTT).

"Karena itulah sejumlah langkah terus dilakukan dengan menggandeng semua komponen yang ada di dalam masyarakat agar tujuan itu bisa tercapai," kata Perwakilan Unicef NTT Yulida Pangastuti, di Waetabula Sumba Barat Daya, NTT, Selasa.

Dia mengatakan, masalah pendidikan tidak semata-mata menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan, tetapi merupakan masalah bersama seluruh komponen masyarakat, dan harus diperjuangkan secara bersama-sama.

Dia menyebut, salah satu program yang sedang dikembangkan oleh Unicef dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, adalah dengan peningkatan program sistem informasi pendidikan berbasis masyarakat (SIPBM).

Program SIPBM tersebut, untuk tahap pertama akan dilakukan di enam kabupaten/kota yang ada di NTT, masing-masing, Kota Kupang, Kabupaten Timor Tengah selatan (TTS), Kabupaten Alor, Kabupaten Sikka, Kabupaten Sumba Timur serta Kabupaten Sumba Barat.

"Untuk di enam kabupaten/kota itu pun masih perlu waktu untuk dilakukan secara bertahap untuk semua kecamatan yang dimiliki," kata Yulida.

Menurut dia, intervensi sejumlah program yang dilakukan pemerintah untuk memudahkan akses pendidikan bagi seluruh anak bangsa di Indonesia termasuk di provinsi kepulauan tersebut, baik melalui dana bantuan operasional sekolah (BOS), beasiswa miskin, PKH, dan sejumlah program lainnya, telah berdampak kepada meningkatnya jumlah siswa bersekolah di Indonesia.

Dia menyebutkan, kesempatan anak usia pendidikan dasar untuk memperoleh pendidikan meningkat dari tahun ke tahun, dimana angka partisipasi murni (APM) SD 2009/2010 berjumlah 95,23 persen, APM SMP 2009/2010 74,52 persen dan angka melanjutkan dari SD ke SMP 2009/2010, 79,75 persen.

Namun menurut dia, tantangan besar pada tingkat SMP di mana anak dengan usia 13 hingga 15 tahun yang jumlahnya diperkirakan mencapai dua juta anak yang tidak bersekolah, karena sulit dijangkau dan tidak mempunyai akses ke sekolah.

Dia menyebutkan, rata-rata dari anak yang tidak bersekolah untuk tingkat SMP berasal dari keluarga miskin, terpinggirkan atau berada di daerah terpencil.

"Banyak di antaranya dihadapkan pula pada tanggung jawab hidup (buruh anak), mengidap HIV dan AIDS, tertimpa bencana alam, atau berkebutuhan khusus," kata Yulida.

Dia menambahkan, langkah-langkah konkrit yang sedang dan telah dilakukan Unicef dalam kaitan dengan pelaksanaan program SIPBM, yaitu dengan melakukan pelatihan kepada instruktur yang akan menjadi pilar pelaksanaan program SIPBM di setiap daerah masing-masing.

"Untuk yang dilakukan di Sumba Barat Daya, dikhususkan untuk pelatih dari Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur," kata dia.

Dia berharap dengan pelatihan pelatih, dan pelatihan kepada para petugas entri data yang akan melakukan input data lapangan tersebut, bisa menjadikan dorongan bagi pelaksanaannya di lapangan, agar bisa mencapai tujuan.

"Dari pelatihan ini, para petugas yang dilatih diharapkan akan bisa melaksanakan tugas dan fungsinya, mendata, mengimput data dan mempublikasikannya, agar bisa diketahui sejumlah kendala untuk dilakukan intervensi oleh pemerintah dan lainnya demi pencapaian tujuan, tuntas wajar sembilan tahun," kata Yulida. (Ant)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024