Palu (ANTARA) - Perempuan dan anak menjadi salah satu komponen yang paling terdampak saat bencana gempa, tsunami dan likuefaksi menghantam Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala serta sebagian Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 lalu.

Beban yang di emban kaum hawa bertambah saat bencana alam itu terjadi. Selain sebagai korban yang sama dengan kaum adam, perempuan harus tetap melakukan kewajiban sebagai ibu rumah tangga bila ia telah berkeluarga, dalam situasi darurat.

Belum lagi kodrat-nya yang mau atau tak mau harus menjalani proses menstruasi, bagi perempuan yang telah beranjak dewasa. Sementara untuk mendapat air dan pembalut dalam situasi bencana, seperti yang terjadi di Kota Palu, Sigi dan Donggala bukan hal yang mudah, bagi sebagian korban.

Kodrat lainnya yakni, hamil, melahirkan dan menyusui. Dalam situasi darurat bencana, empat kodrat itu bukanlah hal yang mudah. Butuh kesiapsiagaan yang ekstra/lebih serta di dukung dengan sarana yang benar-benar, utamanya untuk hamil dan melahirkan. Namun, terkadang pemenuhan hak dan perlindungan itu lalai dari perhatian.

Sembilan bulan gempa, tsunami dan likuefaksi berlalu. Ribuan perempuan dan anak masih berada di lokasi pengungsian, sebagian telah mendapat tempat tinggal berupa hunian sementara. Sebagian lagi belum, mereka masih berada di tenda.

Di Kota Palu, misalnya, berdasarkan data Pemkot yang disampaikan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Arfan, dalam diskusi Libun Todea, Sabtu hingga Minggu dini hari (26/5), terdapat sekitar 6.655 jiwa pengungsi gempa, tsunami dan likuefaksi yang masih tinggal di tenda-tenda dan penampungan sementara yang tersebar di sejumlah lokasi, karena jumlah unit hunian sementara (huntara) yang dibangun Kementerian PUPR maupun LSM (NGO) daya tampungnya terbatas.

Jumlah itu, termasuk perempuan, remaja perempuan, anak perempuan, perempuan lansia dan seterusnya.

Ketersediaan aksesbilitas yang memadai berbasis pemenuhan dan perlindungan hak perempuan dan anak, sangat penting untuk melindungi kaum hawa dari agar perlakuan kekerasan berbasis gender dalam situasi darurat dan usai bencana.

Gubernur Sulteng Longki Djanggola mengemukakan pengaturan dan penempatan hunian sementara korban bencana kurang tepat dan tidak representatif gender dan dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

"Pengaturan tempat pengungsian yang kurang tepat dapat meningkatkan risiko terjadinya kekerasan seksual," kata Longki di rapat koordinasi perlindungan perempuan dan anak dalam bencana, yang di bacakan oleh Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan Hukum, Norma Mardjanu, di Palu.

Pengaturan tenda, huntara, toilet dan kamar mandi, serta fasilitas lainnya di pengungsian yang kurang aman, dapat memancing terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Selain itu, kekerasan juga dapat terjadi karenakan mekanisme distribusi bantuan yang tidak memperhatikan kelompok rentan dan lain-lain.

Karena itu dibutuhkan pendekatan multisektoral untuk pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender pada situasi bencana.

Dalam situasi bencana, risiko kekerasan berbasis gender dapat meningkat karena beberapa faktor, seperti sistem perlindungan sosial yang terganggu, keluarga yang terpisah, lemahnya aturan keamanan dan keselamatan khususnya pada hunian semantara yang rentan konflik antar pengungsian.

Pengaturan berbasis gender dan anak  di pengungsian perlu di bentuk untuk memastikan upaya pencegahan dan penanganan dapat di laksanakan dalam situasi bencana di pengungsian.


RAD Perlindungan Perempuan

Rencana Aksi Daerah (RAD) perlindungan terhadap perempuan dan anak dalam situasi darurat dan usai bencana menjadi salah satu solusi atau langkah pemerintah untuk memenuhi hak-hak perempuan berbasis gender.

Saat Pemerintah Sulawesi Tengah, lewat Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (DP3A) telah rapat koordinasi dengan Kementerian PPPA dan UNFPA. Rakor ini berujung pada rekomendasi-rekomendasi untuk penyusunan dokumen rencana aksi daerah perlindungan perempuan dan anak.

"Rencana aksi daerah yang dibuat mengacu pada rencana aksi nasional dan Inpres Nomor 10 Tahun 2018," kata Kepala DP3A Sulteng Ihsan Basir.

Penyusunan RAD, juga di lakukan oleh Pemerintah Kota Palu lewat DP3A Palu dan Pemerintah Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Berbagai rekomendasi telah di lahirkan, yang selanjutnya di sampaikan atau diserahkan kepada kepala daerah.

Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan KPPPA Titi Eko Rahayu mengemukakan pencegahan dan penanganan kekerasan dalam situasi bencana membutuhkan pendekatan multisektor, dan strateginya mesti mencakup dan merinci tindakan/intervensi penting yang harus diambil, siapa yang bertanggung jawab, dan sumber-sumber penting yang dapat mendukung pelaksanaan dari tindakan tersebut.

"Ini tidak terlepas dari Inpres Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Sulawesi Tengah dan Wilayah Terdampak Lainnya," katanya.

Dia juga menekankan pentingnya keterlibatan aktif pemerintah daerah dan masyarakat dalam perumusan strategi pelindungan dan pemulihan perempuan dan anak saat dan pasca-bencana.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyatakan butuh kerjasama dan keterlibatan para pihak terkait, untuk melindungi perempuan dan anak dalam situasi dan kondisi darurat atau dalam bencana.
"Hal ini penting untuk melindungi perempuan dan anak dalam situasi darurat," ucap Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus, Kementerian PPPA, Nyimas Aliah, di Palu, Rabu.

Dalam situasi normal, situasi tidak bencana saja, kata Nyimas, banyak perempuan rentan alami kekerasan, dieksploitasi, kekerasan dalam rumah tangga, mengalami perkosaan, pelecehan di ruang publik dan lainnya. "Banyak, hampir setiap hari muncul kekerasan," kata Nyimas Aliah.

Apalagi dalam situasi darurat bencana. Karena itu, koordinasi menjadi hal penting, supaya bisa bergerak bersama menangani kasus kekerasan yang di kategorikan sebagai kekerasan berbasis gender.

Nyimas mengemukakan, di lokasi pengungsian perempuan dan anak rentan terhadap kekerasan. Ketika infastruktur, sarana pelengkap huntara, aksesbilitas, tidak ramah perempuan, maka kaum hawa dan anak rentan terhadap kekerasan.

"Misalnya kamar mandi yang bercampur antara laki-laki dan perempuan, jumlahnya sedikit, tidak aman dan tidak rapih, maka ini menunjang kerentanan terhadap perempuan mendapat kekerasan," kata dia.

Ia mengaku bahwa perempuan lebih lama di kamar mandi atau toilet. Kemudian, perempuan sejak subuh sudah mulai beraktivitas diawali dengan mencari air. Karena itu, akses terhadap perempuan mendapatkan air di lokasi pengungsian harus lebih mudah. "Tapi kalau tempatnya jauh, terus gelap. Maka ini rawan bagi perempuan untuk mendapat kekerasan," katanya.


Tolak Kekerasan

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengajak segala komponen dan pengambil kebijakan untuk bersama-sama menyatukan persepsi menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak baik dalam situasi normal (non-bencana) maupun situasi darurat bencana.

"Dalam upaya meningkatkan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari kekerasan berbasis gender, mari kita bersinergi, bahu membahu, merapatkan barisan untuk selalu mengkampanyekan dan menolak sekecil apapun segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Vennetia R. Danes, di Palu, Jumat.

Kementerian PPPA menitipkan saudara dan anak-anak yang menjadi korban bencana khususnya dan semua perempuan dan anak Sulawesi Tengah umumnya untuk dilindungi dan dipenuhi haknya sebagai bentuk kerja kita bersama.

Ia mengakui bahwa hal ini menjadi kewajiban dari Kementerian PPPA, sebagai tertuang dalam salah satu prioritas RPJMN tahun 2015-2019 yaitu upaya meningkatkan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan melalui pencegahan, pelayanan dan pemberdayaan.

Dia melanjutkan, hal itu telah dirumuskan dalam prioritas tahun 2017 ke dalam tiga tujuan utama yang disebut three ends, yaitu akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan orang, dan akhiri ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan.

"Namun hal ini tidaklah terwujud sebagaimana yang kita harapkan, jika tidak ada kerja sama dengan kementerian/lembaga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai peran dan fungsinya," ujar dia.

KPPA mencatat per tahun terdapat 13 juta perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual.

Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan Kementerian PPPA, Titi Eko Rahayu, mengemukakan hasil pendataan khusus untuk kekerasan terhadap perempuan melalui Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016 menunjukkan bahwa 1 di antara 3 perempuan usia 15 - 64 tahun atau 33,4 persen mengalami kekerasan fisik dan atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.

Kemudian, dalam catatan Kementerian PPPA, sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15 - 64 tahun atau 9,4 persen mengalami kekerasan seksual dalam 12 bulan terakhir.
Selanjutnya, kekerasan pada anak dari hasil Survei Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Nasional (SPHARN) tahun 2018, menunjukkan bahwa 2 dari 3 anak-anak dan remaja perempuan atau laki-laki pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya.

"Kekerasan yang dialami oleh anak dan remaja cenderung tidak berdiri sendiri tetapi bersifat tumpang tindih di antara jenis kekerasan," katanya.

Berdasarkan data tersebut, ia menegaskan, jika dibandingkan dengan angka kesakitan manapun, kekerasan masih jauh lebih besar. Kekerasan merupakan masalah yang memberikan dampak buruk dan mengurangi efektivitas upaya membangun kesejahteraan.*


Baca juga: Komnas Perempuan: Pengungsi Nduga rentan terhadap kekerasan

Baca juga: Menteri Yohana kuatkan perempuan pengungsi banjir bandang Sentani

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019