Jakarta (ANTARA) - KPK mengusulkan Rp20 triliun dari APBN digunakan untuk membiayai kegiatan partai politik (parpol)

"Misalkan partai dibiayai Rp20 triliun, dibanding APBN kita tidak ada apa-apanya dibanding bila tidak dibiayai bagaimana rusaknya," kata Agus Rahardjo di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK Jakarta, Jumat.

Agus menyampaikan hal tersebut dalam Talkshow Pemilu Berintegritas "Pilih Yang Jujur" yang juga dihadiri Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman dan peneliti Indonesia Corruption Watch Almas Sjafrina. Acara itu juga dihadiri oleh sejumlah perwakilan kampus dan para pemilih pemula lainnya.

"Kalau bisa diberikan pendanaan ke partai, kita bisa paksa agar partai diaudit secara mendalam oleh KPK dan dimungkinkan kalau partai didiskualifikasi tidak ikut pemilu," tambah Agus.

Dengan pembiayaan yang berasal dari negara tersebut, artinya parpol pun bertanggung jawab ke negara.

"Cukup misalnya dengan Rp20 triliun dan BPK bisa masuk secara mendalam, dana ini dipakai untuk apa dan pada saat pejabat publik berkampanye misalnya untuk apa, apakah melanggar aturan kampanye atau tidak, bisa masuk dari situ," katanya.

Aturan tersebut misalnya dapat dilakukan dengan revisi UU Partai Politik.

KPK rencananya juga akan mengumumkan para calon anggota legislatif yang taat menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK.

"Awal April akan kita umumkan siapa yang sudah lapor LHKPN, terutama petahana. Kalau petahana belum lapor, sebaiknya sama sekali tidak kita pilih," ungkap Agus.

Sedangkan peneliti ICW Almas juga mengaku mendorong UU parpol direvisi.

"Kami sepakat dengan KPK bahwa partai politik harus didanai sebagian oleh negara. Kalau dari perhitungan ICW, 30 persen adalah angka yang cukup bagi negara membiayai partai politik, 30 persen lainnya dari anggota partai dan 40 persen dari publik atau pihak ketiga tapi kalau kita hanya bicara kenaikan bantuan tanpa bicara sanksi mungkin itu tidak akan mengubah apapun, partai politik akan tetap korup," kata Almas.

Sanksi yang bisa diterapkan menurut Almas, bagi partai politik terbukti melakukan korupsi atau terlibat dalam kasus korupsi atau menggunakan uang bantuan dari negara untuk korupsi dilarang mengikuti pemilu pada pemilu terdekat.

"Apakah mungkin? Sangat mungkin. Di UU Pilkada sekarang ketika partai politik terbukti menerima mahar politik di Pilkada selanjutnya dilarang mencalonkan pasangan calon," tegas Almas.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019