Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo mendengarkan para petani tebu yang mengeluhkan rendahnya harga gula hingga kurangnya mesin pengolahan. "Saya harus bicara apa adanya, tidak semua permasalahan terutama berkaitan dengan harga meski saya sudah minta bisikan dari Pak Menko (Perekonomian) tapi juga belum menangkap betul (persoalannya) makanya saya minta disampaikan langsung, ayo maju," kata dia, di Istana Negara, Jakarta, Rabu.

Ia menyampaikan hal itu dalam acara "Silaturahim Presiden Republik Indonesia dengan Para Petani Tebu Tahun 2019", yang juga dihadiri Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution, Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko, Ketua Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI,) Sumitro Samadikun, sekitar 200 petani tebu seluruh Indonesia dan sejumlah pejabat lainnya.
   
Petani tebu pertama yang mendapat kesempatan menyampaikan kondisinya adalah Harmonis dari Lampung. "Masalahnya mengenai bantuan dari Kementerian Pertanian yang beberapa tahun yaitu sepanjang 2015-2018 tidak sampai lagi ke masyarakat yaitu program 'Bansos Tebu'. Padahal pada 2014 kami dapat pupuk untuk pengolahan lahan dan alat pertanian," kata Harmonis.
   
Padahal, menurut Harmonis, bansos tebu itu sangat membantu mengurangi ongkos produksi petani tebu. "Tiga tahun tidak sampai karena ada kebijakan harus ada sertifikasi bibit sedangkan perusahaan di Lampung tidak pernah mengeluarkan sertifikat itu," tambah Harmonis.
   
"Supaya bapak ibu tahu, tidak semua hal saya tahu, bansos tebu saya baru dengar ini, OK, saya cek ke Menteri Pertanian, makasih," kata Presiden.
   
Petani tebu kedua yang menyampaikan keluhan adalah Kamari dari Jawa Tengah. "Dua tahun terakhir sulit untuk petani tebu karena dihapusnya KKPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi) yang diubah jadi KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang sangat menyulitkan kami karena perbankan meminta kami untuk memberikan agunan agar mendapat KUR padahal dengan KKPE tidak (perlu agunan)," kata Kamari.
   
Menurut Kamari, mekanisme KKPE adalah perbangkan memperhitungkan hasil tanaman tebu petani sebagai agunan sedangkan KUR tidak menerima hasil panen tebu itu. Ia pun meminta agar KUR dapat dipermudah agunannya.
"Kemudian kami di Jawa Tengah penggilingan tebunya bekerja sama dengan pabrik gula swasta. Berdasarkan regulasi kemarin seharusnya Bulog membeli gula kami Rp9.700/kilogram tapi kami tidak dapat bagian tersebut karena menggiling di penggilingan tebu swasta dan terpaksa harus menjual di bawah harga Rp9.700," ungkap Kamari.
   
Pada Mei 2018 lalu, pemerintah menugaskan Bulo untuk membeli gula dari petani senilai Rp9.700 per kilogram. Penugasan ini juga terbuka bagi perusahaan lain yang ditunjuk Kementerian BUMN. 
   
"Kami akhirnya menjual ke investor dengan rembesan gula rafinasi (gula untuk konsumsi industri) sangat banyak jadi harga melemah. Kami minta untuk tahun depan gula dibeli dengan sistem kemitraan bagi hasil," kata Kamari.
Petani tebu ketiga adalah Tarif yang berasal dari Madiun. Senada dengan Kamari, Tarif mengeluhkan harga pokok pembelian gula sejak 2016 mulai menurun karena ada gula impor untuk industri makanan dan minuman yang merembes ke pasar konsumen.
   
"Kami mohon kepada Bapak Presiden kalau impor gula tidak pada waktu panen, bukan kami alergi gula impor karena kami sadar gula produksi nasional masih di bawah kebutuhan konsumen tapi kami harap impor tidak waktu panen sehingga harga gula tetap bisa memenuhi harga pokok produksi," kata Tarif.
   
Tarif juga meminta agar sistem bagi hasil dengan pabrik gula dapat dipertahankan karena sebelumnya ada wacana mengubah mekanisme menjadi sistem pembelian putus.
   
"Siapa yang memutuskan? Menteri Pertanian atau BUMN?" tanya Jokowi.
   
"Pokoknya sudah berlaku petani mulai jual sendiri tapi kami inginnya tetap sistem bagi hasil," ungkap Tarif.
   
Petani tebu keempat adalah Mulyadi asal Jawa Barat. Mulyadi mengungkapkan penurunan luas perkebunan tebu dari tadinya 27.000 hektar tinggal 21.000 hektar pada 2018 karena animo masyarakat menjadi petani tebu menurun akibat kerugian yang terus dialami petani tebu.
   
"Dengan menurunkan area perkebunan tadinya, di Jawa Barat dari tadinya ada 5 pabrik gula, saat ini tinggal 3 pabrik gula, pabrik milik BUMN PT Rajawali II di Subang sudah tutup dan juga PT Karang Suwu tutup," kata Muladi.
   
Muladi juga mengeluhkan mahalnya ongkos produksi karena budidaya tebu yang masih menggunakan tenaga manusia. Harga pokok pembelian gula yang ditetapkan pemerintah Rp9.700 per kilogram dinilai tidak menutup ongkos produksi.
   
"Kami mohon ke bapak, budidaya di kami menjadi semi mekanisasi. Saat musim tebang harus ada mekanisasi. Saat ini baru pembajakan memakai traktor, tapi pemberian pupuk masih manual apalagi penebangannya, kalau menggunakan mekanisasi bisa menekan biaya," tambah Muladi.
   
Ia juga menyampaikan, dari 3 pabrik gula yang masih berdiri di Jawa Barat, peralatannya sudah berusia ratusan tahun sehinga perlu direvitalisasi.
   
"Kalau tidak diperbaiki, rendemen (kadar kandungan gula di dalam batang tebu terbaik) tidak tercapai, tahun ini saja di bawah 7,5 (persen)," kata Muladi.
   
"Rendemen itu karena kualitas tebunya atau kualitas mesinnya?" tanya Jokowi.
   
"Menurut kami perbaikan pabriknya karena alat-alat sudah tua, peninggalan Belanda harus diperbaiki," jawab Muladi.
   
Muladi juga mengusulkan rendemen individu agar muncul persaingan sehat antar petani tebu.
   
"Agar persaingan sehat di petani, kami usulkan agar bisa dipasangkan alat di pabrik untuk menentukan rendemen individu namanya core sampling, jadi melahirkan rendemen masing-masing petani. Kalau sekarang semua dibagi rata di pabrik," ungkap Muladi.
   
Akhirnya ia pun berharap agar harga pokok pembelian gula dari pemerintah mencapai Rp10.500 per kilogram sebagai harga acuan terendah.
   
"Harga Rp9.700/kilogram belum ada keuntungan, kami harap Rp10.500/kilogram jadi harga acuan terendah, kalau harga acuan tertinggi Rp12.500 Insya Allah kami terima kalau pemerintah bantu alatnya, rendemen pun bisa dinaikkan," jelas Muladi.
   
Petani terakhir yang mengungkapkan keluh kesahnya adalah Suhardi dari Medan. "Petani di Medan adalah yang paling miskin karena tidak punya lahan tapi menanam tebu karena bermitra dengan PTPN II, kami harus patuh ke PTPN II. Kami menyewa lahan PTPN II. Dulu pada 2006 tidak sewa tapi bagi hasil 62-38, 3 tahun setelah itu rental sewa tanah dengan PTPN II senilai Rp1,2 juta per hektar dan bagi hasil 65-35  tapi seterusnya harga sewa meningkat jadi Rp6 juta," kata Suhardi.
   
Suhardi juga mengaku rendemennya hanya 6,5 persen atau dari 100 kilogram tebu hanya mendapat 6,5 gula. "Tapi karena tidak ada pilihan lain, mau tidak mau kami masih bertahan apalagi dengan harga gula belum memadai. Saya mohon ke bapak presiden sepulanngya ke sini harga gula bakal dinaikkan tahun ini agar keluarga kami menyambut kami bisa tersenyum, bisa sekolah, kuliah," tambah Suhardi.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019