Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Police Watch (IPW) mengapresiasi Satgas Anti Mafia Sepak Bola yang bekerja cepat menangkap sejumlah orang diduga terlibat dalam praktek mafia bola, tetapi belum menyentuh bos mafia bola yang sudah menghancurkan sepakbola nasional.

"Dalam membongkar mafia bola, Satgas tidak hanya mengubek Liga 3 dan Liga 2, tetapi juga harus membongkar dugaan praktek mafia di Liga 1 dan di Timnas yang merupakan 'kasus di depan mata' agar bos bos mafia bola bisa terciduk," ujar Ketua Presidium Ind Police Watch Neta S Pane melalui pesan singkat di Jakarta, Selasa.

Menurut Neta, di tahap pertama, Satgas harus fokus pada sistem pengaturan skor dan menelusuri dugaan keterlibatan sejumlah oknum di dua lembaga di bawah PSSI, yakni lembaga kompetisi dan lembaga perwasitan.

Jejak digital oknum di kedua lembaga itu perlu ditelusuri untuk membongkar jaringan mafia yang sesungguhnya karena dua lembaga itu mempunyai hak veto dalam mengatur roda kompetisi dan menunjuk para wasit yang memimpin kompetisi Liga 1, 2 dan 3.

IPW mendesak Satgas Anti Mafia Sepak Bola untuk fokus pada pihak yang memiliki veto untuk diketahui memiliki keterlibatan atau tidak.

Apabila sudah mendapat informasi dari sumber, Satgas diminta tetap waspada karena terdapat kemungkinan sumber tersebut pernah terlibat dalam mafia sepakbola.

"IPW khawatir Satgas tidak paham dengan sejarah atur mengatur pertandingan dan justru dibohongi. Sebab itu, Satgas perlu melakukan cek ulang toh Polri punya PS Bhayangka di sepakbola nasional," kata Neta S Pane.

Orang-orang di PS Bhayangkara, ujar dia, dapat diminta bantuannya untuk melakukan cek ulang info sepihak dari sumber sekaligus membongkar jaringan mafia sepakbola nasional, mulai dari Liga 3, 2, 1 dan Timnas.

Mafia bola disebutnya sudah menghancurkan sepakbola nasional dari hulu hingga hilir dengan menciptakan kasus suap dan pengaturan pertandingan, termasuk dugaan mengatur juara, promosi dan degradasi. 

Baca juga: Satgas Antimafia Bola fokus periksa petinggi PSSI pekan ini

Ada pun Anggota EXCO PSSI dari hasil keputusan Kongres PSSI di Ancol, 10 November 2016 adalah, ketua umum PSSI Edy Rahmayadi, wakil ketua umum Joko Driyono dan Iwan Budianto.

Sedangkan 12 anggota lainnya adalah, Hidayat, Yunus Nusi, Condro Kirono, Gusti Randa, Pieter Tanuri, Juni A. Rahman, AS Sukawijaya, Johar Lin Eng, Refrizal, Dirk Soplanit, Very Mulyadi, dan Papat Yunisal.

Dari 15 anggota EXCO PSSI yang terpilih, Edy Rahmayadi dan Hidayat mengundurkan diri, sedangkan, Johar Lin Eng pada pertengahan Desember 2018 lalu, sudah dijadikan tersangka.

Dalam statuta PSSI yang berkiblat ke FIFA, 15 anggota EXCO PSSI yang dipilih oleh 105 pemilik suara (voters), konsepnya kolektif kolegial, tetapi untuk masalah pekerjaan, setiap anggota EXCO PSSI punya kewenangan yang tidak dapat diintervensi oleh sesama anggota EXCO PSSI lainnya.

Contohnya, ketika Iwan Budianto, menjadi anggota EXCO PSSI di bawah kepimpinan Nurdin Halid (2007 – 2011), ia membawahi Badan Badan Liga Sepakbola Amatir Indonesia (BLAI) sehingga mempunyai hak veto untuk tidak bisa diintervensi oleh sesama anggota EXCO PSSI

Begitu juga Moh. Zein sebagai anggota EXCO PSSI periode yang sama pun membawahi perwasitan sehingga memiliki kekuasaan penuh mengatur para wasit yang memimpin Indonesia Super League (ISL) sejak tahun 2008 hingga 2013.

Sementara Subardi, anggota EXCO PSSI di jaman Nurdin Halid pun punya kewenangan di bidang kompetisi.

Baca juga: Satgas Antimafia Bola jadwalkan pemeriksaan Waketum PSSI

Baca juga: Satgas periksa Sekjen PSSI di Polda Metro Jaya

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019