Jakarta (ANTARA News) - Ketua Asosiasi Industri Kecil dan Menengah, Agro Suyono, mengatakan, pengusaha makanan dan minuman kelas kecil dan menengah masih membutuhkan gula impor bagi keberlangsugan usaha mereka karena disebabkan tiga alasan utama. 

 “Yang pertama gula rafinasi itu tidak mengandung molasis, yaitu sampah mikro, bakteri dan kuman, yang masih menempel di gula. Ketika ada molasis, makanan kami akan cepat kedaluwarsa,” ujar Suyono, yang juga pengusaha dodol, di Jakarta, Senin.

Dalam informasi tertulis itu, Suyono menjelaskan, jika menggunakan gula buatan dalam negeri, saat makanan diekspor, misalnya dodol ke Timur Tengah, makanan semisal dodol, akan berjamur dan kedaluwarsa karena ada bakteri itu. Pasalnya, perjalanan ke Abu Dhabi bisa mencapai 20 hari. Kondisi panas dalam kontainer membuat bakteri yang membusukkan makanan itu lebih cepat berkembang. 

Ia melanjutkan, alasan kedua karena gula rafinasi selalu tersedia dari Januari sampai Desember. Sedangkan jika menggunakan gula dalam negeri, mesti menunggu musim panen. 

Pengusaha juga mengeluhkan masalah harga. Suyono menyebutkan, harga gula buatan dalam negeri bisa lebih mahal hingga Rp2.000 per kilogram dibandingkan gula rafinasi. Jadilah pengusaha lebih memilih gula rafinasi karena lebih murah. 

Pilihan menggunakan gula rafinasi impor, dia tegaskan, tidak serta-merta menunjukkan para pengusaha anti produk dalam negeri. Menurut Suyono, pengusaha siap membeli gula dalam negeri jika kualitasnya mampu memenuhi yang ia butuhkan. 

“Kami siap beli gula dalam negeri, Nasionalisme saya tidak perlu dipertanyakan lagi. Saya ini anak petani asli Ciamis, saya juga ingin petani tebu Indonesia sejahtera,” jelasnya. 

Sementara itu, peneliti muda Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Assyifa Szami Ilman, mengungkapkan, menekan tingginya angka impor gula bukan pekerjaan yang mudah. Ini mengingat konsumsi dalam negeri sangatlah tinggi. Pemangkasan impor gula hanya dapat dilakukan apabila produksi gula dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan nasional dengan kualitas baik. 

Ia berpendapat, jika produksi gula dalam negeri mampu memenuhi atau setidaknya mendekati angka kebutuhan, kebijakan impor gula dipastikan dapat ditekan. Namun untuk saat ini, jika impor gula terus ditekan, imbasnya alkan membuat harga gula di pasaran melambung.

"Pada akhirnya, konsumen dan unit usaha UMKM yang menggunakan gula sebagai bahan produksinya akan menanggung kerugian," katanya.

Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Agus Pakpahan, mengamini, beberapa industri memang membutuhkan impor gula sebagai bahan baku untuk produksinya. Contohnya industri makanan dan minuman yang memerlukan gula dengan ICUMSA rendah serta industri kesehatan yang membutuhkan gula khusus. 

Khusus untuk industri tersebut, ia mengakui, keperluan memakai gula impor lebih dikarenakan harganya yang lebih terjangkau. Di samping itu, gula impor yang memiliki tingkat ICUMSA di kisaran 45 membuat tampilan makanan dan minuman jauh lebih baik. 

“Kalau ICUMSA gula rafinasi impor itu sekitar 45. Kalau gula lokal setelah diolah itu masih sekitar 300 ICUMSA. Raw sugar malah ICUMSA-nya bisa sampai 1.200,” jelasnya. 

Hanya saja bukan berarti gula lokal tidak mampu menghasilkan makanan maupun minuman yang kualitasnya setara dengan produk yang memakai gula impor. Penggunaan gula impor tetap kepada pertimbangan harga dan tingkat ICUMSA yang lebih rendah. 

“Karena pernah dulu waktu tahun 2009, ketika harga gula dunia sedang naik, industri makanan dan minuman akhirnya memakai gula lokal. Bisa itu,” kata Pakpahan.

Pewarta: Afut Nursyirwan
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019