Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono, menilai dalam debat capres-cawapres pada Kamis malam (17/1), kedua pasangan calon memiliki pandangan berbeda dalam menangani terorisme.

"Sangat jelas terlihat bahwa terdapat perbedaan pandangan dari kedua pasangan dalam menangani persoalan terorisme," kata dia, di Jakarta, Jumat.

Ia melihat pasangan petahana, Jokowi-KH Ma'ruf Amin, lebih mengedepankan pendekatan pencegahan melalui kontra radikalisasi dan deradikalisasi seperti yang dinyatakan sang ulama berpengaruh ini.

Sedangkan pasangan Prabowo-Sandiaga menurut dia, lebih mengedepankan pendekatan kesiapsiagaan nasional, ditandai dengan pernyataan Prabowo yang akan menginvestasikan banyak hal untuk menguatkan intelijen, angkatan perang, dan Kepolisian Indonesia.

"Berdasarkan hal itu, saya melihat upaya pencegahan dengan melakukan kontra radikalisasi dan  deradikalisasi sangat penting dilakukan sebagai upaya melawan terorisme saat ini," ujarnya.

Hal itu menurut dia, mengingat melihat usia dari pelaku aksi teror belakangan ini, yang masih berusia muda serta penyebaran paham radikal yang mulai berkembang di kalangan generasi muda.

Ia menilai kondisi itu tercermin dari beberapa penelitian yang telah dilakukan misalnya laporan LIPI yang menyatakan bahwa radikalisme ideologi telah merambah dunia mahasiswa melalui proses Islamisasi di beberapa organisasi kemahasiswaan.

"Dimana dalam proses kegiatan yang  dilakukan oleh kelompok ini cenderung eksklusif dan berpotensi memecah belah bangsa," ujarnya.

Ia menilai optimalisasi kontra radikalisasi dan deradikalisasi serta ditambah dengan memperkuat pendidikan multikultural di seluruh jenjang pendidikan sangat diperlukan.

Menurut dia, pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai penghargaan terhadap keragaman budaya, etnis, suku dan agama tujuannya menumbuhkan sikap yang menghargai dan menghormati perbedaan.

"Hal inilah yang sangat penting untuk tersampaikan dan terinternalisasi kepada generasi muda kita saat ini," katanya.

Menurut dia walaupun hal itu bukan berarti tidak memperhatikan upaya kesiapsiagaan dengan tetap peningkatan kemampuan aparatur, pelindungan dan peningkatan sarana prasarana dalam rangka melawan terorisme.

Selain itu dia mengatakan UU Nomor 5/2018 yang merevisi UU Nomor 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, dalam revisi tersebut, disebutkan dalam pasal  43 huruf a ayat 1 dikatakan: pemerintah wajib melakukan pencegahan tindak pidana terorisme.

Ia mengatakan, pasal 43 huruf a ayat 2 menyatakan: dalam upaya pencegahan ini, pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus-menerus yang dilandasi dengan prinsip perlindungan HAM dan prinsip kehati-hatian. 

"Kemudian pasal 42 a ayat 3 menyatakan, pencegahan dilaksanakan melalui kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi," katanya.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019