Jakarta (ANTARA News) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan bahwa reformasi pusat-pusat penahanan khususnya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan hal yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.

"Persoalan Lapas bukan hanya sekedar persoalan kasuistik yang hanya dilihat peristiwa per peristiwa," kata Koordinator Kontras Yati Andriyani dalam siaran pers, Sabtu.

Menurut dia, Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin dan beberapa narapidana kasus Korupsi di Lapas Sukamiskin hanya satu dari banyak akibat yang ditimbulkan dari lemah dan rusaknya pengelolaan Lembaga Pemasyarakatan selama ini.

Untuk itu, menurut Yati, langkah-langkah reaksioner dan sesaat dalam penanganan masalah ini tidak akan menyelesaikan persoalan.

Kontras memandang berbagai persoalan yang harus segera dibenahi atau direformasi antara lain persoalan kapasitas berlebih jumlah narapidana, budaya atau praktik koruptif, praktik-praktik kekerasan dan penyiksaan sebagai sebuah penghukuman yang masih kerap terjadi, dan Pemidanaan penjara untuk kasus-kasus kejahatan kecil dan pecandu narkotika.

Kemudian, persoalan lainnya adalah penjara khusus kasus korupsi yang berujung pada diskriminasi, jual beli fasilitas dan perpanjangan rantai dan budaya koruptif, intervensi dan minimnya koordinasi dan sinergi aparat penegak hukum lain dalam penanganan tahanan kasus-kasus tertentu yang berada di bawah lembaga pemasyarakatan (narkotika, terorisme dan korupsi) di lapas.

Selanjutnya, buruknya kualitas dan akses dari standar minimum para terpidana di pusat-pusat penahanan, serta permasalahan minimnya akuntabilitas, transparansi dalam manajemen dan birokrasi di pusat-pusat penahanan atau lembaga pemasyarakatan.

Merujuk pada hal-hal diatas, respon atau tindakan yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM dan Ditjen PAS yang bertanggungjawab atas masalah ini akan sia-sia, jika tindakan yang dilakukan hanyalah bersifat reaksioner semata dalam bentuk pemusnahan dan penyitaan barang-barang atau fasilitas, dan sidak atau operasi yang bersifat sesaat. Dalam hal ini perubahan dan pendekatan yang lebih struktural dan implementatif baik dari hulu sampai hilir harus dilakukan," tegasnya.

Ia menguraikan, cara ini mengharuskan penanganan persoalan Lapas didukung oleh kebijakan hukum dan politik yang memadai, paradigma pemasyarakatan yang kuat, sumber daya yang berintegritas baik di level jabatan struktural di kementrian sampai dengan di tingkat lapangan di lembaga pemasyarakatan.

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding di Jakarta, Senin (23/7), menginginkan KPK mengusut Kementerian Hukum dan HAM, menyusul operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Kepala Lapas Sukamiskin, Bandung.

"Pemberian izin dan permintaan fasilitas di dalam Lapas biasanya atas sepengetahuan Kemenkum HAM," katanya.

Sudding melihat, kemungkinan besar Kalapas Sukamiskin tidak bermain sendiri sehingga perlu diungkap agar skandal di Lapas bisa diusut tuntas hingga ke akar masalahnya.

Sementara itu, Kementerian Hukum dan HAM terus berkomitmen melakukan optimalisasi Lapas kategori "Super Maximum Security", khususnya terkait infrastruktur di Pulau Nusakambangan.

Hal ini diwujudkan melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono di Nusakambangan, Cilacap, Jumat (27/7).

MoU antara kedua belah pihak tersebut adalah terkait peningkatan kapasitas petugas dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di bidang jasa konstruksi, apalagi salah satu "core business" Pemasyarakatan adalah pembinaan.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018