Musim kemarau bukan berarti tidak ada hujan sama sekali. Di awal dan menjelang akhir musim kemarau biasanya masih ada cukup hujan, namun kalau diukur dalam sebulan jumlahnya kurang dari 150 mm."
Jakarta (ANTARA News) - Deputi bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Herizal mengatakan, musim kemarau di Indonesia sangat dipengaruhi oleh Monsun Australia.

"Untuk wilayah Indonesia yang paling berpengaruh menyebabkan musim kemarau adalah angin Monsun Australia atau orang sering menyebutnya angin timuran," kata Herizal yang dihubungi di Jakarta, Kamis.

Saat matahari berada di utara equator yaitu pada April, Mei, Juni, Juli, dan Agustus, maka wilayah di sebelah utara equator memiliki tekanan lebih rendah daripada wilayah selatan equator.

Akibat dari peristiwa tersebut, maka angin akan bergerak dari wilayah selatan equator yaitu Australia menuju utara (Asia). Angin ini sering dikenal dengan nama angin Monsun Australia.

Angin timuran itu membawa massa udara yang bersifat kering dan dingin sehingga wilayah di Indonesia mengalami musim kemarau.

Herizal menjelaskan, kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang panjang. Biasanya kejadian ini muncul bila suatu daerah secara terus-menerus mengalami kurang hujan yang disebut dengan musim kemarau.

Untuk mengetahui kapan suatu daerah memasuki musim kemarau, jika hujan yang turun di daerah tersebut dalam dua dasarian rata-rata kurang dari 50 mm atau dalam satu bulan kurang dari 150 mm.

"Musim kemarau bukan berarti tidak ada hujan sama sekali. Di awal dan menjelang akhir musim kemarau biasanya masih ada cukup hujan, namun kalau diukur dalam sebulan jumlahnya kurang dari 150 mm," katanya.

Sementara puncak musim kemarau adalah bulan dimana hujan yang turun paling minimum, sering nol mm, atau dalam satu bulan tidak ada hujan sama sekali.

Yang menyebabkan musim kemarau adalah berkurangnya uap air di udara sebagai bahan untuk pembentuk awan. Uap air bervariasi jumlahnya di udara karena faktor dinamika atmosfer.

Sebelumnya, hasil monitoring BMKG menunjukkan sejumlah daerah telah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) ekstrem atau lebih dari 60 hari sehingga harus mewaspadai terjadinya kekeringan.

BMKG mencatat HTH tertinggi di Sape Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu selama 112 hari, Wulandoni NTT selama 103 hari, Bali 102 hari, Kawah Ijen Jawa Timur 101 hari, Bangsri Jawa Tengah 92 hari dan di DI Yogyakarta tepatnya di Lendah dan Srandakan selama 82 hari.

Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018