Bonus demografi, berkah yang berasal dari mayoritas jumlah penduduk usia produktif di tahun 2045, diharapkan melahirkan apa yang dicita-citakan sebagai generasi emas, yakni generasi istimewa yang momentumnya terjadi saat Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaannya.

Waktu menuju datangnya 2045 menjadi peluang untuk menabur benih-benih keuletan, kebajikan dan kematangan watak atau karakter melalui upaya investasi besar-besaran dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Investasi pembangunan bukan yang hasilnya bisa dirasakan sekejap, melainkan lebih pada keuntungan jangka panjang dengan hasil optimal tetapi berbiaya lebih murah.

Pemerintah memiliki tanggung jawab menjaga tumbuh kembang sejak dalam kandungan mulai usia 0 tahun hingga usia 18 tahun.

Jaminan tersebut meliputi kecukupan gizi hingga layanan kesehatan lainnya, memastikan anak-anak di usia sekolah mendapatkan kesempatan mengeyam pendidikan.

Di sisi lain, orang tua perlu disadarkan akan tanggung jawab menyiapkan anak-anaknya menuju generasi emas, salah satunya dengan memberikan asupan gizi yang cukup.

Namun, kebanyakan orang tua masih memiliki keterbatasan pengetahuan akan pentingnya memerhatikan masalah kesehatan, baik bagi ibu maupun anak-anaknya.

Dari sisi orang tua, masih kurangnya pengetahuan pasangan baik ayah maupun ibu tentang kesehatan dan gizi selama masa kehamilan, kesadaran dalam memberikan ASI eksklusif hingga pemberian MPASI yang kurang sesuai.

Tentu saja, kondisi ibu hamil yang kekurangan asupan gizi yang layak akan berdampak terhadap anak-anak yang dilahirkan kelak.

Presiden Joko Widodo dalam suatu kesempatan menegaskan bahwa tidak ingin ada anak Indonesia menderita gizi buruk sebab kondisi tersebut akan berdampak pada kegagalan anak dalam mencapai tinggi badan normal atau biasa dikenal dengan istilah stunting.

Stunting didefinisikan sebagai kekurangan gizi kronis pada balita yang berlangsung lama dan menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak, salah satunya tubuh yang terlalu pendek untuk anak seusianya.

Presiden bertekad untuk menempatkan masalah gizi buruk pada prioritas untuk segera ditangani secara berkelanjutan dan menyatakan bahwa pemerintah secara konsisten melakukan intervensi untuk mengurangi dampak kekurangan gizi kronis.

Saat ini, Indonesia berada sebagai negara dengan pendapatan menengah dan menurut Presiden seharusnya kasus gizi buruk adalah masa lalu bangsa Indonesia.

Lebih jauh Presiden berharap agar anak-anak disiapkan untuk menghadapi Indonesia Emas 2045 karena keberhasilan pada masa itu bisa dijamin bila kualitas anak-anak Indonesia sejak sekarang dijaga.

Bila bisa konsisten, pada 2045 Indonesia akan berada pada posisi lima besar negara dengan ekonomi terbesar di dunia.

Problem kesehatan, seperti angka kematian ibu dan anak, angka kurang gizi, dan penyakit yang masih ada yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir harus dituntaskan agar mulus menuju Indonesia Emas 2045.

Di sisi lain, Pemerintah juga telah menyiapkan disain untuk mewujudkan cita-cita bangkitnya generasi emas pada 2045, diantaranya dengan menggencarkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), peningkatan kualitas PAUD dan pendidikan dasar yang berkualitas dan merata.

Hasil riset merekomendasikan bahwa perkembangan kecerdasan terjadi sangat pesat pada awal tahun kehidupan, yakni sekitar 50 persen dari kecerdasan orang dewasa terjadi ketika anak berumur 4 tahun, dan 80 persen telah terjadi ketika anak berusia 8 tahun.

Sedangkan hasil kajian Daniel Goleman, seorang tokoh psikolog kontemporer yang namanya melejit lewat karya monumentalnya "Emotional Intelligence" menyatakan bahwa periode ketiga atau ke empat tahun pertama anak didik merupakan periode yang subur bagi perkembangan kecerdasan emosi.

Di usia emas, peluang pengenalan literasi sejak usia dini merupakan sebagai langkah awal dalam menciptakan anak-anak anak yang berkualitas.

Lebih dari itu pula pada dasarnya sejak anak dilahirkan ia sudah membawa kemampuan literasi, sehingga lingkungan mempunyai peran penting untuk mengembangkannya.

Pembiasaan literasi harus dimulai sejak pendidikan dini yaitu PAUD, TK, pendidikan dasar dan berlanjut hingga pendidikan menengah dan tinggi.

Solusi
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi gizi buruk, salah satu kebijakan nasional dalam upaya perbaikan gizi masyarakat tertuang dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2009.

Bahwa upaya perbaikan gizi ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perorangan dan masyarakat. Selanjutnya dalam rangka percepatan perbaikan gizi pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang fokus pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

Selain itu, pemerintah saat ini secara gencar meluncurkan berbagi program, di antaranya Kartu Indonesia Sehat di mana masyarakat miskin bisa mendapat pelayanan kesehatan hingga makanan bergizi bagi anak salah satu manfaatnya untuk mencegah stunting.

Hal ini, mengingat seribu hari pertama kehidupan akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, terkait dengan kemampuan emosional, sosial dan fisik, serta kesiapan untuk belajar, berinovasi dan berkompetisi.

Sebagai upaya mengatasi kurang gizi, pemerintah berencana meningkatkan program gizi seimbang serta menyiapkan total anggaran sekitar Rp60 triliun untuk 12 kementerian/lembaga yang terlibat penanganan stunting.

Saat ini tengah dirumuskan mengenai konsep gizi seimbang yang sederhana dengan mempertimbangkan makanan lokal yang ada di setiap wilayah Indonesia untuk mengupayakan pemenuhan gizi pada anak.

Menko PMK Puan Maharani menjelaskan kerangka penanganan stunting terbagi menjadi dua, yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.

Kedua hal ini membutuhkan kerja sama pemerintah pusat dengan peran pemda dalam bentuk edukasi dan sosialisasi, makanan tambahan, suplemen, imunisasi, infrastruktur air bersih, infrastruktur sanitasi, dan bantuan keluarga miskin.

Pemerintah telah mengusulkan lokasi intervensi gizi terintegrasi di 100 kabupaten/kota yang telah teridentifikasi.

Kriteria lokasi merupakan komposit dari indikator prevalensi stunting tinggi, jumlah anak balita banyak, dan tingkat kemiskinan tinggi.

Data pemantauan status gizi pada 2016 menunjukkan jumlah balita stunting mencapai 27,5 persen. Rinciannya, sangat pendek 8,5 persen dan pendek 19 persen. Sedangkan target Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah di bawah 20 persen.

Kasus balita stunting ditemukan di sebagian wilayah Indonesia, terutama di wilayah Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Padahal di wilayah-wilayah tersebut protein hewani dari ikan mudah didapatkan.

Masalah stunting merupakan masalah serius sehingga perlu kemauan dari masyarakat untuk berubah dan memikirkan nasib generasi mendatang.

Baca juga: Tujuh warga Kuantan Singingi lumpuh, sempat diduga gizi buruk
 

Pewarta: Zita Meirina
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018