Jakarta(ANTARA News)- Zainal Abidin, Kepala Desa Mantang Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat, tak pernah mengira jika sekitar 225 anak di desanya terindikasi kerdil atau gangguan tumbuh kembang.

Padahal jumlah anak yang di desa yang sebagian penduduknya berprofesi sebagai petani itu hanya 254 anak.

"Data dari Puskesmas, ada 225 anak yang terindikasi stunting. Tentu saja, kami tak pernah menyangka hal ini sebelumnya," ujar Zainal saat ditemui usai rembuk stunting (katai) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Katai merupakan kondisi kekurangan gizi pada balita yang berlangsung lama sejak dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun. Kondisi itu menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak.

Gagal tumbuh bisa terjadi dalam masa kandungan, serta saat lahir mengalami kondisi berat bayi lahir rendah atau kurang dari 2,5 kilogram atau panjang kurang dari 48 cm.

Penyebab utamanya adalah pola asuh yang tidak sesuai dan menyebabkan kurangnya asupan gizi serta pola hidup yang tidak bersih serta menyebabkan infeksi bakteri atau kuman.

Perkawinan anak yang menghasilkan kehamilan di usia muda berisiko melahirkan bayi katai. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2010 menunjukkan bahwa terdapat 23,2 persen kehamilan di usia 10-19 tahun. Perkawinan dan kehamilan di usia tersebut terbukti memiliki risiko sangat besar melahirkan bayi katai.

Saat ini, sekitar 37 persen atau 39 juta anak Indonesia mengalami katai.

Zainal menyadari penyebab utama banyaknya kasus katai di desanya disebabkan sanitasi yang buruk serta sulitnya mendapatkan akses air bersih.

"Di beberapa tempat di desa kami agak kesulitan mendapatkan akses air bersih. Ditambah lagi pola hidup masyarakat yang kurang bersih," ujar dia.

Menurut Zainal, sebelum ramai mengenai katai, kasus tersebut sudah banyak terjadi. Namun masyarakat belum memberikan perhatian yang serius. Baru pada tahun ini, dana desa dialokasikan untuk penanganan katai.

"Kalau sebelumnya, hanya fokus pada infrastruktur seperti jalan, tapi tahun ini kami mulai memberi perhatian untuk stunting, seperti memberi makanan tambahan pada bayi dan ibu hamil. Kami juga bangun sumur bor dan juga sanitasi," kata Zainal yang mengaku dana desa untuk tahun ini telah turun sebanyak 20 persen tersebut.

Zainal berharap ke depan, melalui penanganan yang dimulai dari desa, jumlah anak yang mengalami katai di desa tersebut semakin berkurang.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Endang L Achadi mengatakan katai dan permasalahan gizi mempengaruhi status kesehatan dan kecerdasan di setiap tahap kehidupan, mulai dari kandungan, dilahirkan, masa balita, sekolah, remaja dan muda serta saat seorang perempuan hamil.

"Stunting berdampak pada terhambatnya perkembangan otak dan fisik, rentan terhadap penyakit. Saat dewasa, anak tersebut mudah menderita kegemukan sehingga rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit tidak menular, seperti hipertensi, diabetes, jantung dan lainnya, serta sulit berprestasi sehingga daya saing individu rendah," kata Endang.

Sementara pada tingkat masyarakat dan negara, katai menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan angka kemiskinan dan kesakitan sehingga beban negara meningkat, ketimpangan sosial dan menurunkan daya saing dengan negara lain.

Intervensi
Endang menjelaskan katai tidak bisa diperbaiki, namun bisa dicegah melalui intervensi. Intervensi yang dilakukan melalui dua cara yakni intervensi gizi spesifik yang terdiri dari 1.000 hari pertama kehidupan yang berkontribusi pada 30 persen penurunan katai dan intervensi gizi sensitif melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70 persen penurunan katai.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan penanganan katai memerlukan intervensi dana desa karena ada sekitar 1.000 desa di Tanah Air yang mempunyai anak dengan kondisi tersebut.

"Ada sekitar 1.000 desa yang di daerahnya ada `stunting`. Ini yang harus diintervensi dengan dana desa, kami bantu intervensi juga dengan pendampingan bagi hamil dan pemberian makanan sehat," ujar Nila Moeloek.

Nila menjelaskan untuk penanganan katai tersebut harus dilakukan secara bersama dan lintas kementerian karena masalah katai tidak hanya merugikan secara ekonomi tetapi mempengaruhi kecerdasan anak, penyakit degenatif pada masa depan, dan juga tumbuh kembang anak.

"Tugas dari Kemenkes melakukan intervensi secara spesifik. Kami ditolong dengan lingkungan yang baik, pola hidup bersih dan sehat itu yang paling penting. Pendidikan dan kesehatan harus menjadi kepedulian utama, karena banyak di daerah yang diskriminasi gender," katanya.

Begitu juga pola asuh, lanjut Nila, juga mempengaruhi dalam penanganan masalah katai. Selain itu, Nila melihat peranan Kementerian Agama juga turut mempengaruhi karena banyak ulama yang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat.

"Perkawinan anak banyak di desa, akibatnya anak bisa lahir dengan berat badan rendah. Begitu juga mandi cuci kakus (MCK) juga harus diperhatikan, akses air bersih, penanganan harus terintergrasi dan bersama. Kami hitung kerugian secara ekonomi, karena satu dari tiga anak yang kurang secara kognitif maka bisa merepotkan," cerita Nila.

Pola pikir masyarakat dalam memanfaatkan MCK, kata dia, meski dibangun tetapi perilaku masyarakat tetap sembarangan buang air besar.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Taufik Madjid mengatakan dana desa bisa digunakan untuk penanganan katai di desa tersebut.

Sebenarnya sudah sejak dulu bisa digunakan untuk penanganan katai, namun pada tahun ini lebih terintegrasi.

Selama tiga tahun keberadaan dana desa, lanjut Taufik, dana desa digunakan untuk pembangunan infrastruktur seperti polindes, posyandu, sarana-prasarana air bersih, MCK dan sebagainya. Namun untuk tahun ini, penggunaan dana desa bisa digunakan untuk pemberian makanan sehat, perawatan kesehatan ibu hamil dan menyusui, pengadaan kebutuhan medis, sosialisasi dan edukasi gerakan hidup bersih dan sehat, hingga ambulans desa.

Kami berharap masyarakat desa, bisa memastikan bisa memastikan dana desa bisa dipakai untuk itu. Kami mendorong proses perencanaan anggaran di desa, kepala daerah dan pemerintah daerah harus punya komitmen untuk mencegah stunting, kata Taufik.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo mengatakan penanganan stunting di pedesaan harus terintegrasi.

Penanganan stunting di desa harus terintegrasi mulai dari pembangunan polindes, posyandu, penyediaan makanan sehat, pembangunan sanitasi dan air bersih, balai pengobatan desa, dan lainnya. Semua itu bisa memanfaatkan dana desa, ujar Eko.

Pembangunan posyandu ataupun polindes hingga balai pengobatan akan berpengaruh pada penanganan stunting. Eko menjelaskan Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara maju, tapi salah satu kendala untuk menjadi negara maju adalah tingkat pendidikan dan kualitas sumber daya manusia.

Kita ada potensi stunting dan itu adalah pekerjaan besar yang kalau tidak ditangani maka angkatan kerja kita tidak akan siap menyongsong Indonesia menjadi negara maju. Maka stunting menjadi pekerjaan rumah kita bersama.

Dengan penanganan stunting yang terintegrasi, lanjut Mendes, pihaknya menargetkan bisa menurunkan angka stunting yang saat ini berjumlah 37,2 persen turun menjadi satu digit atau dibawah 10 persen. Permasalahan stunting, kata Eko, sebagian besar adalah masalah ketidaktahuan, infrastruktur dan kemiskinan.

Nah ini, kami berupaya agar bisa menurunkan angka stunting bersama-sama, ujar Eko.

Dengan penanganan stunting yang terintegrasi, pihaknya yakin persentase stunting semakin menurun. Apalagi penurunan angka kemiskinan di pedesaan lebih tinggi dibanding di perkotaan yakni 4,5 persen sementara di kota hanya empat persen.
 

Pewarta: Indriani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018