Yangon (ANTARA News) - Myanmar membangun kampung sementara untuk menampung 30.000 warga Rohingya, yang diperkirakan pulang setelah lari dari kekerasan Rakhine, kata media pemerintah, Senin, saat Myanmar dan Bangladesh membahas penerapan kesepakatan pemulangan.

Lebih dari 650 ribu warga Rohingya melintasi perbatasan ke Bangladesh setelah terjadi serangan militer Myanmar dalam menanggapi serangan petempur Rohingya pada 25 Agustus 2017.

Kekerasan tersebut disebut Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pembersihan suku, yang berulang kali dibantah Myanmar.

Pejabat Myanmar dan Bangladesh bertemu pada Senin untuk membahas kesepakatan pemulangan, yang ditandatangani pada 23 November. Pertemuan di ibu kota Myanmar, Naypyitaw, itu adalah yang pertama bagi kelompok kerja gabungan, yang dibentuk untuk memastikan rincian kesepakatan tersebut.

Koran "Global New Light" Myanmar, yang dikelola negara, mengatakan bahwa kampung di Hla Po Khaung di Rakhine utara akan menjadi tempat peralihan sementara bagi orang-orang yang "diterima secara sistematis" untuk dipulangkan.

"Hla Po Khaung seluas 124 hektar akan menampung sekitar 30.000 orang pada 625 bangunannya," kata surat kabar tersebut, dengan menambahkan bahwa sekitar 100 bangunan akan selesai pada akhir Januari.

Aung Tun Thet, koordinator utama Persatuan Usaha untuk Bantuan Kemanusiaan, Pemukiman Kembali dan Pembangunan, mengatakan bahwa kamp di Hla Po Khaung akan menjadi "tempat transisi" bagi pengungsi Rohingya sebelum mereka dipulangkan ke "tempat asal mereka" atau pemukiman terdekat ke tempat asalnya.

"Kami akan mencoba menerima semua orang yang kembali ke Myanmar," katanya, menambahkan bahwa untuk melakukan pemeriksaan data tempat tinggal bagi penduduk yang kembali, mereka akan dikirim ke kamp penilaian di Taungpyoletwei atau Ngakhuya sebelum mereka dipindahkan ke kamp Hla Po Khaung.

Soe Aung, sekretaris tetap Kementerian Kesejahteraan Sosial, Pemulihan dan Pemukiman Kembali Myanmar, mengatakan bahwa orang-orang yang kembali ke negaranya akan menghabiskan "setidaknya satu atau dua bulan" di Hla Po Khaung sebelum rumah baru mereka dibangun.

Namun, tidak jelas berapa banyak orang yang akan kembali dinyatakan memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan di Myanmar. Pihak berwenang mengatakan bahwa Muslim Rohingya dapat mengajukan kewarganegaraan jika mereka dapat menunjukkan leluhur mereka tinggal di Myanmar. Tetapi pada kesepakatan terakhir - seperti yang ada pada 1992 - tidak menjamin kewarganegaraan.

Pejabat pemerintah Myanmar telah mengatakan kesepakatan repatriasi pada 1992-1993, yang diikuti kekerasan pada sebelumnya di Myanmar, akan menerima orang-orang yang dapat mengajukan dokumen identitas yang dikeluarkan kepada Rohingya oleh pemerintah di masa lalu.

Myanmar, yang mayoritas warganya beragama Buddha, selama bertahun-tahun menolak kewarganegaraan Rohingya, kebebasan bergerak dan akses terhadap layanan dasar seperti perawatan kesehatan dan pendidikan. Mereka dianggap sebagai pendatang ilegal dari Bangladesh yang sebagian besar beragama Islam.

Pejabat Bangladesh mengatakan tidak pasti kapan pengungsi pertama benar-benar dapat kembali ke negaranya saat kedua negara mencari cara untuk bersama-sama melakukan pemeriksaan identitas pada orang-orang yang akan kembali.

Lembaga PBB dan pengamat hak asasi manusia menyuarakan keraguan mengenai rencana pemukiman kembali dan menuntut proses lebih terbuka untuk melindungi warga Rohingya, yang kembali secara sukarela.

Pewarta: Antara
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018