Jakarta (ANTARA News) - Merger dua operator telkom yakni PT XL Axiata dan Axis Telekom secara hukum tidak dilarang sepanjang tidak bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku khususnya UU 36/1999 ttg Telekomunikasi dan UU 5/1999 ttg Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pengamat hukum bisnis dan telekomunikasi dari Universitas Indonesia, Edmon Makarim, di Jakarta, Senin mengatakan karakteristik industri jasa telekomunikasi adalah sektor industri jasa yang teratur atau regulated karena menyangkut kebutuhan dasar berkomunikasi setiap warga negara dan menggunakan sumber daya yang berdampak kepada hajat hidup orang banyak.

Oleh karena itu, perlu diawasi jangan sampai merger itu dapat memicu terjadinya dominasi frekuensi.

Edmon Makarim mengatakan pengaturannya adalah dengan mekanisme perizinan agar tidak terjadi interferensi dalam spektrum frekuensi yang mengakibatkan pemanfaatan spektrum frekuensi menjadi tidak optimal untuk kesejahteraan rakyat.

Demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, katanya, pada prinsipnya penyelenggaraan jasa telekomunikasi dibangun atas dasar paradigma consumer objectives dan persaingan yang sehat atau fair competition.

Guna menjawab kebutuhan dasar berkomunikasi warga negara yang diselenggarakan secara efisien untuk mendapatkan layanan yang murah, hukum persaingan usaha yang sehat diperlukan untuk membuat pemanfaatan sumber daya tersebut optimal dan efisien bagi masyarakat.

"Sehingga wajarlah jika terdapat ex-ante regulation pada pasal 10 UU Telekomunikasi," tuturnya kepada sejumlah wartawan.

Jika meger dan akuisisi XL dan Axis tidak ditujukan atau berakibat mematikan iklim persaingan usaha yang sehat, atau tidak dilakukan oleh pelaku usaha yang dominan atau menguasai significant market power (lebih dari 50 persen), maka hal tersebut tidak menyalahi semangat persaingan usaha yang sehat.

Sementara dalam perspektif telekomunikasi, ukuran "dominan" tidak hanya atas dasar jumlah pengguna saja, melainkan juga sepanjang tidak membuat spektrum frekwensi menjadi terkonsentrasi pada satu pihak saja. Jadi M&A itu, boleh saja.

Namun, perlu dipahami M&A tidak berarti otomatis bergabungnya lisensi pemanfaatan spektrum frekuensi. Ijin frekuensi ataupun dalam konteks ini sebenarnya lebih tepat istilahnya adalah assignment untuk dapat duduk pada spektrum frekuensi tertentu sesuai alokasinya, tidak dengan serta merta terjadi penggabungan blok meskipun sebelumnya masing-masing telah mendapatkan blok tertentu.

"Disinilah berbedaannya pandangan orang ekonomi dengan orang hukum, karena ahli ekonomi telah mencatatkan lisensi sebagai aset, meskipun menurut hukum selayaknya belum dapat dinyatakan demikian, karena lisensi bukanlah barang yang dapat dialihkan. Jadi mengakuisi perusahaan lain tidak berarti mengakuisi lisensi yang diperolehnya hal tersebut jelas berbeda," ujarnya.

Dalam hukum, lisensi izin sehingga tentunya jika kondisi-kondisi dalam perjanjian lisensi tidak terpenuhi maka hak akan kembali kepada si pemberi izin. Jika karena pertimbangan tertentu yang reasonable & legitimate, mungkin saja jumlah blok yang semula seolah-olah dipikirkan langsung berjumlah dari perolehan masing-masing pihak, bisa-bisa menjadi ikut diefisiensikan juga.

Logika berpikirnya adalah jika masing-masing saja tidak mampu menanggung kapasitas sebeulmnya (andaikan dua blok saja sudah berat), maka kalau bergabung tentunya tidak akan mampu menanggung empat blok, melainkan hanya cukup tigalok saja.

Sehingga satu blok dapat dimanfaatkan pihak lain yang lebih mampu agar tercipta peluang usaha bagi yang lain. Hal tersebut sepenuhnya dikembalikan kepada pertimbangan administrasi negara yang berwenang melakukan pembinaan dan pengawasannya guna menjamin pemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pewarta: Theo Yusuf
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013