Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 memengaruhi banyak sektor, antara lain perdagangan, pariwisata, pendidikan, dan ekonomi. World Tourism Organization (WTO) melaporkan, kedatangan wisatawan internasional terus menurun dari capaian 2019. Pada 2020 mencapai 73 persen dan 72 persen pada 2021.

SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 telah berkembang dengan berbagai jenis mutasi sejak kali pertama diumumkan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sebagai pandemi pada 11 Maret 2020.

Salah satunya adalah varian Omicron yang saat ini dilaporkan mendominasi kasus infeksi di dunia, sebab merambah di 150 dari total 195 negara. Situasi itu memicu reaksi berbagai negara dalam memproteksi kesehatan warganya.

"Kami berdiskusi, bagaimana jika pandemi berikutnya, sebuah negara memutuskan lockdown (penguncian wilayah), tapi masih dapat menggerakkan tenaga kerja dan barang," kata Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin saat membuka The 1st G20 Health Ministers Meeting (1st HMM) Yogyakarta 2022.

Untuk mendukung hal itu, diperlukan pengakuan bersama antarnegara terkait sertifikat digital COVID-19 sebagai dokumen kesehatan yang berlaku universal meliputi sertifikat tes dan vaksin COVID-19 sebagai persyaratan dokumen perjalanan lintas batas.

Pada 2021, para pemimpin G20 berkomitmen memulai kembali perjalanan internasional dengan cara yang aman dan tertib. Tapi muncul kendala saat penerapan pedoman sertifikat digital COVID-19 antarnegara saling berbeda.

Indonesia misalnya, menggunakan aplikasi PeduliLindungi buatan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) yang mengandalkan partisipasi masyarakat untuk saling membagikan data lokasi saat bepergian agar penelusuran riwayat kontak dengan penderita COVID-19 dapat dilakukan.

Negara tetangga seperti Singapura menggunakan aplikasi TraceTogether untuk memberi peringatan kepada masyarakatnya saat posisi mereka berada dekat dengan penderita COVID-19. TraceTogether mengandalkan koneksi bluetooth, sedangkan Australia mengandalkan aplikasi COVIDSafe agar masyarakat bisa mengetahui ketika berada dekat orang terinfeksi COVID-19.

China memfasilitasi aplikasi Close Contact Detector sebagai pengingat warga untuk selalu menjaga jarak aman dari risiko penularan COVID-19 menggunakan big data tentang pergerakan orang dan catatan dari otoritas berwenang di negara tersebut.

Baca juga: Diplomasi Indonesia di 1st HMM Yogyakarta

Mekanisme verifikasi yang berbeda antarnegara membuat sertifikat digital COVID-19 tidak diakui secara universal karena diperlukan perjanjian resmi antarnegara.

Diperagakan

Pada agenda 1st HMM Yogyakarta diperagakan uji coba teknologi QR code berstandar internasional untuk mempermudah administrasi perjalanan luar negeri yang mensyaratkan validasi vaksin.

Proyek percontohan diinisiasi Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 tahun ini. Uji coba untuk memobilisasi perjalanan internasional yang aman melalui pembentukan Global Digital Health Trust Network dan Federated Public Trust Directory.

Tujuannya menyelaraskan berbagai platform yang ada dalam satu jaringan yang dipercaya secara universal. G20 bidang kesehatan memfasilitasi melalui kerja sama dengan organisasi internasional, seperti WHO, Organization for Economic Cooperation and Development, dan Global Digital Health Partnership.
Uji coba mekanisme perjalanan internasional menggunakan QR Code berstandar WHO di Hotel Marriot Yogyakarta. (ANTARA/Andi Firdaus)


QR Code berstandar internasional mulai dikembangkan pada Mei 2022 melalui tes virtual dari Federated Public Trust Directory dan sosialisasi kepada pimpinan G20 untuk menguji aplikasi verifikasi universal.

Tahap lanjutan pada Juni-Juli 2022, uji coba melalui koneksi virtual dan pengesahan di tingkat Menteri Kesehatan G20. Pada tahap akhir di Agustus-Oktober 2022, diharapkan terjadi kesepakatan untuk implementasi QR Code berstandar internasional di tataran global.

Kalau disepakati, mekanisme terbaru perjalanan internasional itu mulai diterapkan di negara ASEAN, selanjutnya merambah ke negara G20 dan Uni Eropa.

Chief of Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan RI Setiaji melaporkan hingga saat ini lebih dari 100 negara menggunakan QR Code berstandar WHO.

Skema tersebut menyatukan pola aplikasi, jaringan, atau sistem perangkat lunak semiotonom yang tersedia di masing-masing negara. Sistem itu dapat mengukur, memproses, bereksperimen, dan menerapkan teknologi yang berbeda. Namun, tetap mematuhi aturan yang protokol kesehatan di setiap negara secara simbiosis dengan sistem.

Sebanyak 19 negara dengan pengaruh ekonomi terbesar di dunia ditambah organisasi antarpemerintahan dan supranasional Uni Eropa dalam G20 memiliki sistem jaringan kepercayaan yang berbeda, di antaranya International Air Transport Association (IATA), International Civil Aviation Organization (ICAU), EU Digital COVID Certificate atau EU Green Cert, Common Trust Network.

Dengan mekanisme Federated Public Trust Directory, jaringan yang berbeda diselaraskan menggunakan kode QR tunggal yang aman untuk memverifikasi sertifikat vaksin atau dokumen kesehatan yang akan difasilitasi WHO.

Pada uji coba yang dihelat di Hotel Marriot Yogyakarta, 20-21 Juni 2022, peserta dari kalangan tamu undangan hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit untuk melewati gerbang validasi QR code.

Pada tahap awal, peserta membuka menu "Sertifikat Vaksin" pada aplikasi yang berlaku dari negara asal untuk mengakses fitur QR code di ponsel pintar mereka. Selanjutnya, petugas otoritas perjalanan memandu proses validasi vaksinasi.

Baca juga: Indonesia usung lima target bidang kesehatan untuk G20

Setelah QR code terbuka, peserta dapat memilih fitur menu di panel layar untuk menentukan negara tujuan. Setelah itu diklik konfirmasi, dan layar menampilkan skrining QR code vaksin.

Peserta cukup mendekatkan tampilan QR code di layar ponsel dengan mesin validasi hingga proses skrining selesai. Jika berhasil, maka pintu masuk akan terbuka secara otomatis. Terkait jenis vaksin yang diterima atau berlaku mengacu kepada kebijakan masing-masing negara tujuan.

Masih berproses

Meskipun saat ini sudah 100 negara yang menggunakan QR Code berstandar WHO, nyatanya beberapa negara masih berproses dalam hal digitalisasi teknologi tersebut. QR code dan mekanisme verifikasi digital sertifikat vaksin COVID-19 masih menjadi isu pembahasan di tingkat G20 bidang kesehatan.

Namun, Indonesia sebagai Presidensi G20 tahun ini, terbuka untuk mendukung dan mendampingi secara teknis negara-negara G20 yang masih berproses dalam implementasi QR Code dengan dukungan WHO, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), dan The Global Digital Health Partnership (GDHP).

Pada pernyataan resmi, Kamis (12/5), Commissioner for Justice Uni Eropa Didier Reynders menyatakan sistem sertifikat Uni Eropa tetap salah satu alat penting dalam mobilitas warga di wilayah Uni Eropa. Indonesia bergabung dengan 40 negara lainnya yang sistem sertifikat vaksinnya telah diakui Uni Eropa.

Duta Besar RI untuk Belgia Luksemburg dan Uni Eropa Andri Hadi menyampaikan pengakuan sertifikat vaksinasi universal merupakan langkah yang sangat positif dan diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan minat wisatawan Eropa berkunjung ke Indonesia di musim liburan mendatang.

Diplomasi pada tataran G20 untuk mematangkan sektor keamanan data pengguna fitur QR Code WHO masih terus ditempuh Indonesia hingga terbentuk Federated Public Trust Directory untuk membantu negara-negara saling memverifikasi data, bukan pertukaran data.

Dalam kesimpulan 1st HMM Yogyakarta, seluruh delegasi G20 akan memastikan kedaulatan atas keamanan data dari masing-masing negara.

Baca juga: Kemenkes dorong negara anggota G20 bentuk sistem kesehatan global
Baca juga: Menkes: Taman Sari Yogyakarta manifestasi sistem kesehatan global
Baca juga: Indonesia galang dukungan bentuk pendanaan kesehatan global permanen

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022