De Oost seolah-olah ingin berkata bahwa sesungguhnya perang tak akan membawa kita ke mana pun.
Jakarta (ANTARA) - “Hanya ada dua jenis manusia di bumi, pemburu dan mangsa. Jika musuh berjalan di luar rumahmu, kau bersembunyi atau mengejarnya dengan pisau? Perang memaksa orang untuk memilih, itulah kekuatannya.”

Prajurit Johan de Vries (diperankan Martijn Lakemeier) tampaknya tersihir mendengar deretan kalimat yang dilontarkan sang kapten kepada dirinya. Ia mengingat-ingat dua kata kunci itu, pemburu atau mangsa. Dalam perang, mula-mula hanya itu yang ia tahu.

Sejak awal, Johan memang telah memperlihatkan kekaguman terhadap sosok kapten berdarah Yunani-Belanda itu.

De Turk, begitulah prajurit Belanda di Hindia menjuluki sang kapten. Meski berkewarganeragaan Belanda, ia tumbuh besar di Istanbul, Turki.

Baca juga: "The 47 Ronin in Debt", kisah sejarah klasik dalam kemasan komedi

Baca juga: Christine Hakim belajar Indonesia lebih dalam lewat film sejarah


Di sisi lain, pribumi Hindia menjulukinya sebagai "Ratu Adil" yang seolah-olah diyakini sebagai representasi dari seorang legenda yang kelak akan membebaskan rakyat dari penindasan.
Film "De Oost" atau "The East" karya sutradara Jim Taihuttu. (ANTARA/HO-IMDb)


Sepanjang film "De Oost" atau "The East", penonton hanya akan mendengar nama asli sang kapten sebagai “Raymond” saja (diperankan Marwan Kenzari) tanpa embel-embel nama keluarga. Namun sebenarnya, film ini disebut-sebut terinspirasi dari sosok Raymod Wasterling yang memimpin aksi "Pembantaian Westerling" (1946-1947) di Sulawesi Selatan.

Film "De Oost" menyimpan keunikan tersendiri dibandingkan dengan film-film perang yang hanya menunjukkan satu sisi wajah saja dan terlampau mengglorifikasi “patriotisme”.

"De Oost" memang memberi sedikit porsi panggung pada sosok besar macam Westerling, tetapi film tak akan mampu membawa pesan bermakna jika “orang-orang biasa” seperti Johan de Vries tak diberi panggung lebih.

Perang adalah peristiwa yang sangat kompleks, bukan melulu perihal antar-negara yang bertikai memperebutkan wilayah. Film De Oost setidaknya memperlihatkan sisi kompleksitas tersebut melalui pergolakan batin yang dialami Johan selama menjadi prajurit beserta dampak-dampak yang mengikutinya pasca-perang.

Perang nyatanya telah mengubah sebagian besar diri Johan. De Oost seolah-olah ingin berkata bahwa sesungguhnya perang tak akan membawa kita ke mana pun.

Kapten Raymond sempat mengatakan pada Johan, tujuannya berperang adalah ingin memusnahkan hal-hal yang mengganggu ketenangan rakyat biasa.

Namun apa yang Raymond katakan sebetulnya kontradiktif dengan apa yang ia lakukan. Ia memimpin korps pasukan khusus dan membunuh orang biasa tanpa diadili. Hal itulah yang cukup mengganggu Johan.

Baca juga: Ayu Laksmi: Generasi muda perlu ditularkan sejarah

Sebelum Johan bergabung dengan korps pasukan khusus, Raymond merupakan panutannya. Johan memang sangat mengagumi sosok Raymond. Namun saat Johan diberi perintah untuk membunuh orang tanpa diadili, jiwanya mulai terusik.
Film "De Oost" atau "The East" karya sutradara Jim Taihuttu. (ANTARA/HO-IMDb)


Menariknya, karakter Johan tak ditampilkan secara hitam-putih. Ini menunjukkan kompleksitas peristiwa besar seperti perang akan selalu mempengaruhi kompleksitas kehidupan individu nan personal yang acapkali tak dipandang sebagai sesuatu yang relevan dalam narasi “besar” sejarah.

Perang rupanya bukan semata-mata soal “keberpihakan” terhadap negara. Kadang kala tidak sesederhana itu. Di satu sisi, Johan memihak negaranya dan membunuh pribumi Hindia yang dianggap teroris. Di sisi lain, ia juga bersimpati kepada pribumi.

Sikap abu-abu yang ditunjukkan Johan itulah yang menjadi kekuatan cerita. "De Oost" bukan cerita perang yang mengharuskan penonton memilih salah satu sisi saja. Ini bukan cerita tentang pihak baik versus pihak jahat. "De Oost" menawarkan sisi kemanusiaan dan nurani yang universal.

Kapten Raymond menekankan pada Johan agar selalu menjatuhkan pilihan, menjadi pemburu atau mangsa. Barangkali Raymond benar bahwa perang memaksa orang untuk memilih, tetapi kalau bisa Johan ingin tidak memilih keduanya.

Johan tak ingin disebut pengkhianat hanya karena ayahnya pernah menjadi tokoh besar Nazi Belanda. Ia menyimpan luka dan menutup rapat-rapat tentang kenyataan peranan sang ayah dalam pembunuhan ribuan warga Belanda dan keturunan Yahudi.

Meski Johan membenci sang ayah, tampaknya ada rasa welas-asih yang tertinggal saat Johan teringat dosa sang ayah dan bertanya pada pendeta, apakah dosa orang lain bisa ia tebus.
Film "De Oost" atau "The East" karya sutradara Jim Taihuttu. (ANTARA/HO-IMDb)


Secara teknis, "De Oost" juga menarik karena meramu alur cerita dengan sedemikian rupa. Penonton diajak bolak-balik menyimak kehidupan Johan selama di Hindia dan di Belanda.

Melalui gambaran plot tersebut, "De Oost" seolah-olah ingin berkata lagi bahwa sesungguhnya perang tak akan membawamu ke mana-mana.

Relawan perang seharusnya dijamin bisa mendapatkan kembali pekerjaannya seperti sedia kala. Tetapi itu hanyalah janji manis negara. Saat Johan kembali ke Belanda, ia malah kehilangan pekerjaan.

Berkat racikan plot yang ditata apik, penutup cerita "De Oost" akan memberi semacam kejutan dan kesan tersendiri bagi penonton. Penutup cerita tersebut seolah-olah turut mengajak penonton untuk berkontemplasi dan mempertanyakan kembali makna perang, tidak hanya pada karakter Johan.

Sebelumnya, "De Oost" telah tayang perdana di Festival Film Belanda pada 25 September 2020. "De Oost" juga diperankan oleh aktor Indonesia, seperti Lukman Sardi, Putri Ayudya, dan Denise Aznam. Kini, film garapan sutradara Jim Taihuttu ini juga bisa ditonton di Mola TV mulai dari 7 Agustus 2021.

Baca juga:  Wage, kisah pilu sang komponis lagu kebangsaan

Baca juga: "Gelora: Magnumentary Saparua" bicara sejarah yang terpinggirkan

Baca juga: Film "Kadet 1947" ungkap sejarah yang belum pernah diceritakan

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021