tawarkan harapan dengan ideologi, kehidupan akan berubah. Semua simbol itu palsu
Magelang (ANTARA) - Mengikuti pertemuan seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (12/1) siang, bagaikan hadir menjadi penonton, pelaku, sekaligus boleh memperkaya dongeng tentang secuil gerak sejarah kebudayaan mereka.

Dalam pertemuan di pusat gerakan seni-budaya mereka di Studio Mendut, sekitar 100 meter timur Candi Mendut itu, hadir sekitar 20 pemuka komunitas seniman petani kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, termasuk pemimpin tertinggi yang juga budayawan Sutanto Mendut.

Para pemuka lainnya yang absen, menyimak pertemuan melalui foto dan video pendek yang dikirim seketika oleh yang hadir, ke grup percakapan tertutup komunitas itu. Selepas pertemuan, narasi, foto, dan video pendek menyebar melalui akun pegiatnya di media sosial maupun grup medsos lainnya.

Baca juga: Seniman Madura usung "Retorika Kerinduan" di Museum Lima Gunung

Ada dua agenda utama dalam pertemuan yang juga diikuti seorang anggota komunitas yang koreografer dan penari namun tinggal di daerag tetangga, Kabupaten Purworejo, Nungky Nur Cahyani, yakni penetapan tuan rumah Festival Lima Gunung XIX/2020 dan pemilihan ketua baru komunitas setelah Supadi Haryanto memegang figur kepemimpinan selama 12 tahun terakhir.

Mereka duduk mengelilingi meja besar di ruang Sendang Pitutur Studio Mendut dengan berbagai benda antik dan karya seni rupa lainnya. Aneka camilan di beberapa piring dan toples, ada juga buah-buahan, teh serta kopi hangat tersaji memenuhi meja rapat.

Dalam rapat dengan suasana kekeluargaan mereka, terlontar gagasan, dan pemikiran secara terbuka tentang festivalnya. Dipastikan kelakar, lontaran saling canda, sindir, dan olok-olokan hadir menyeruak dari hadirin, seakan tak ada habis. Suasana rapat, seakan jadi bangunan dongeng komunitas itu.

Mereka menetapkan festival tahun ini di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang di kawasan Gunung Sumbing, sedangkan waktunya masih dalam pembicaraan lebih lanjut namun perkiraan antara Juli-Agustus mendatang. Soal isu lokasi festival tahun ini sebenarnya telah dilontarkan sejak festival tahun lalu di kawasan Gunung Merapi di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun.

Festival Lima Gunung adalah agenda tahunan Komunitas Lima Gunung yang disetel melalui "Sumpah Tanah" para tokohnya beberapa tahun lalu untuk diselenggarakan tanpa sponsor. Festival mereka mengandalkan kekuatan desa dan kekhasan komunitas dengan relasinya dari berbagai kota di Indonesia dan luar negeri.

Keputusan rapat untuk agenda kedua, yakni pemilihan ketua baru pun diambil dalam suasana penuh kelakar di tengah setiap tokoh mengemukakan pendapat. Bahkan, pemimpin rapat, Riyadi, yang ingin berpendapat di urutan terakhir, urung menyampaikan pemikirannya tentang sosok ketua baru, karena secara aklamasi, hadirin tidak mengizinkan yang bersangkutan berpendapat.

"Saya belum berpendapat, saya moderator juga ingin berpendapat," kata Riyadi. Celetukan seorang peserta rapat, "Moderator ndak usah berpendapat!", diaklamasi yang lain.

Sang moderator pun sambil menegakkan duduknya dengan enteng menyahut, "Kalau tidak boleh berpendapat, rapat saya akhiri, Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh".

Hadiri tertawa segar mendengarkan respons moderator. Mereka lalu bersama-sama beranjak dari Sendang Pitutur ke panggung terbuka studio, di mana terdapat "Monumen 5 Gunung", karya pematung dari Merapi, Ismanto. Di tempat itu mereka foto bersama.

Supadi Haryanto yang tinggal Dusun Mantran, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang secara aklamsi terpilih lagi sebagai ketua Komunitas Lima Gunung. Dengan berkelakar, mereka pun menetapkan periode kepemimpinan ketua itu yang tanpa batas waktu.

"Hari ini, Minggu, 12 Desember 2020, ketua baru Komunitas Lima Gunung, yaitu Pak Supadi," demikian sosok yang dianggap sekretaris komunitas itu, Endah Pertiwi, mengumumkan dalam forum serius bercampur aduk dengan ger-geran mereka.

Yang terpilih menyatakan diri menerima amanah itu.

"Saya 'sendika dhawuh' (bersedia menjadi ketua, red.). Saya selama ini anggap 'ketua figur' saja, karena siapa pun ketuanya, ini (Komunitas Lima Gunung, red.) jalan. Terima kasih semuanya," ucap Supadi yang juga juragan sayuran di kawasan Gunung Andong itu dengan enteng.

Dengan geguyon, seketika itu pula Sutanto Mendut menimpali pidato Supadi dengan menempelkan sebutan sang ketua komunitas itu sebagai Sunan Gunung Andong.

"'Gelare' (gelarnya, red.) ketua mulai hari ini, adalah Sunan Gunung Andong, disamakan dengan ikan warna-warna," katanya ditimpali gelak tawa semua peserta rapat.

Tentang "ikan warna-warna" yang membuat tertawa jika dilontarkan komunitas itu, menjadi halaman "dongeng" tersendiri terkait dengan warna peristiwa kesenian di Dusun Mantran Wetan beberapa tahun lalu.
 
Sejumlah pengunjung menyaksikan batu prasasti di kompleks Keraton Agung Sejagat di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Selasa (14/1/2020), (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)


Boleh dibilang, hanya sedikit perhatian khalayak ketika pertemuan secara ger-geran namun menghasilkan buah positif bagi komunitas itu terjadi. Berbagai komentar di media massa juga terlihat sebatas mereka-mereka yang selama ini berelasi dengan komunitas tersebut.

Meski demikian, komunitas dan Festival Lima Gunung mereka telah mendunia. Manajemen komunitas yang mendasarkan kepada keunikan dan kearifan lokal desa, akhir-akhir ini menjadi perhatian kalangan akademisi untuk melakukan penelitian.

Sutanto Mendut pada Maret mendatang dijadwalkan mengajarkan manajemen Komunitas Lima Gunung di salah satu perguruan tinggi di Australia, setelah belasan tahun terakhir mengajar di Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Tahun lalu, pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Joko Aswoyo meluncurkan hasil tesisnya tentang komunitas itu dalam buku berjudul "Sumpah Tanah", saat Festival Lima Gunung XVIII/2019 di kawasan Gunung Merapi.

Saat ini, seorang mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta Brian Trinanda K. Adi sedang meneliti tentang hubungan agama dan budaya dalam gerakan kebudayaan Komunitas Lima Gunung.

Baca juga: Festival Lima Gunung 2019 dikerjakan milenial desa

Peresmian keraton

Pada hari yang sama, di Desa Pogung Juru Tengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jateng berlangsung puncak rangkaian peresmian Keraton Agung Sejagat dan pengukuhan petinggi kerajaan, Totok Santoso (42) dengan sebutan "Kanjeng Sinuwun" dan Fanni Aminadia (41) alias Dyah Gitarja dengan julukan "Kanjeng Ratu".

Rangkaian acara yang disebut "Wilujengan dan Kirab Budaya" itu, berlangsung sejak Jumat (10/1) hingga Minggu (12/1), sedangkan pengikut keraton itu sekitar 450 orang berasal dari sejumlah daerah. Informasinya, hanya sedikit warga Purworejo yang menjadi anggota.

Para pengikut keraton itu, baik laki-laki maupun perempuan, mengenakan pakaian tertentu mengikuti rangkaian acara "Wilujengan dan Kirab Budaya" tersebut.

Wartawan berbagai media massa juga hadir melakukan peliputan. Berita tentang acara itu pun viral dan menjadi perhatian khalayak.

Keberadaan keraton antara lain ditandai semacam pendopo yang belum selesai dibangun, kolam yang kabarnya disakralkan, batu prasasti bertuliskan huruf Jawa dengan bagian kiri ada tanda dua telapak kaki, dan bagian kanan semacam simbol tertentu. Mereka menyebut prasasti itu sebagai Prasasti I Bumi Mataram.

Penasihat Keraton Agung Sejagat Resi Joyodiningrat menegaskan bahwa Keraton Agung Sejagat bukan aliran sesat seperti dikhawatirkan masyarakat, tetapi kerajaan atau kekaisaran dunia yang muncul karena telah berakhir suatu perjanjian 500 tahun yang lalu, terhitung sejak hilangnya Kemaharajaan Nusantara, yaitu imperium Majapahit pada 1518 sampai dengan 2018.

Perjanjian 500 tahun itu dilakukan Dyah Ranawijaya sebagai penguasa imperium Majapahit dengan Portugis sebagai wakil orang Barat atau bekas koloni Kekaisaran Romawi di Malaka pada 1518

Dengan berakhirnya perjanjian tersebut, ucapnya, berakhir pula dominasi kekuasaan Barat dalam mengontrol dunia yang didominasi Amerika Serikat, setelah Perang Dunia II, sedangkan kekuasaan tertinggi harus dikembalikan ke pemiliknya, yaitu Keraton Agung Sejagat, sebagai penerus Medang Majapahit yang merupakan Dinasti Sanjaya dan Syailendra.

Kehadiran Keraton Agung Sejagat dan aktivitas pengikutnya ternyata mengakibatkan keresahan warga terutama di daerah itu. Berbagai komentar juga bertaburan di media sosial, baik terbuka maupun grup-grup percakatan tertutup

Pemerintah daerah dan aparat kepolisian mengambil langkah-langkah penanganan, termasuk menangkap Totok Santoso dan Fanni Aminadia di Wates, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka kemudian dibawa ke Markas Polda Jateng di Semarang untuk penanganan hukum lebih lanjut.

Keduanya, kata Kapolda Jateng Irjen Pol Rycko Amelza Dahniel di Semarang, Rabu, bukan warga Purworejo, bukan pasangan suami istri, ber-KTP Jakarta, dan indekos di Yogyakarta.

Bukti permulaan yang diperoleh kepolisian dinilai cukup untuk menetapkan mereka sebagai tersangka kasus dengan motif menarik dana masyarakat dengan menggunakan tipu daya.

"Dengan simbol-simbol kerajaan, tawarkan harapan dengan ideologi, kehidupan akan berubah. Semua simbol itu palsu," katanya.

Komunitas Lima Gunung melalui pertemuan mereka melahirkan secuil dongeng menarik, Keraton Agung Sejagat melalui agenda mereka menorehkan kisah menghebohkan publik. Masing-masing memberi inspirasi tentang hidup dan nilai kehidupan.

Untuk apa mereka menjalaninya? Untuk bercermin, mungkin itu jawabnya!

Baca juga: Dengung panjang tari Soreng Kabupaten Magelang
 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020