Magelang (ANTARA) - Sejumlah anggota Saka Bakti Husada berlatih Tari Soreng di lantai dua aula Puskesmas Mertoyudan I, sore itu. Mereka dilatih oleh Handoko, pemimpin salah satu grup kesenian rakyat dari kawasan Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Suasana asyik mereka latihan tari Soreng bersamaan waktunya dengan saat-saat puncak kesibukan hampir setiap pegawai dan tenaga medis puskesmas dengan kepala dr Oktara Kunto Edhy itu, menyiapkan program akreditasi selama 14-16 November 2019.

Tari Soreng bercerita tentang latihan keprajuritan secara gagah dan gigih di bawah pemimpin Aryo Penangsang (Jipang) dalam cerita rakyat yang hidup di masyarakat kawasan Gunung Merbabu. Sejumlah catatan menyebut tentang sosok itu menghadapi Hadiwijaya atau Joko Tingkir atau Mas Karebet (Pajang) dalam perebutan pengaruh kekuasaan pada abad ke-15.

Salah satu pemimpin Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) yang juga pengelola Padepokan Warga Budaya Gejayan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Riyadi, menyebut Soreng adalah nama kesatuan prajurit dengan kemahiran khusus, sebagai bagian dari pasukan di bawah Arya Penangsang

Tari Soreng diiringi dengan sejumlah alat musik tabuh, antara lain bende dan truntung. Gerak tarian yang dinamis, terlihat dari entakan kaki penarinya, sabetan cepat tangan, dan olah gerak kuat tubuh. Sejumlah konfigurasi penari dikemas secara berulang-ulang dengan variasinya.

Corak gerak Soreng, sebagaimana beberapa tarian daerah setempat, seperti Grasak, Topeng Ireng, Kuda Lumping, Jatilan, dan Warok, sepertinya tidak lepas dari ekspresi energi petarung masyarakat gunung dalam menghadapi tantangan alam dan kegigihan mereka mengolah pertanian aneka sayuran di kawasan gunung yang berhawa sejuk itu.

Ihwal demikian, kontras dengan tarian klasik di mana gerakan penari yang lembut dan irama khusus tabuhan musik pengiring, seperti gamelan secara komplit, yang umumnya disajikan di keraton.

Sebanyak delapan putra-putri anggota unit kegiatan Pramuka yang khusus terkait dengan kesehatan (Saka Bakti Husada), di bawah pembinaan seorang perawat senior puskesmas setempat, E. Kristin Handayani itu, menyuguhkan Tari Soreng saat pembukaan agenda akreditasi dengan tiga "surveyor" dari Kementerian Kesehatan.

Kalau merujuk narasi yang disimbolkan Soreng, tentu saja tarian itu tidak menyambung dengan agenda akreditasi Puskesmas Mertoyudan I yang pada Minggu (10/11) siang, secara tiba-tiba dikunjungi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam perjalanan dari Yogyakarta ke Kota Magelang.

Kabarnya, Terawan pernah menjalani program koasistensi dokter di puskesmas di tepi Jalan Raya Magelang-Yogyakarta itu, sewaktu kuliah di Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta. Ia lulus FK UGM pada 1990.
Sejumlah penari berlatih tarian Soreng di aula Puskesmas Mertoyudan I Kabupaten Magelang, Selasa (12/11/2019) (ANTARA/Hari Atmoko)

Tarian dengan tabuhan antara lain bende dan truntung, dengan gerakan yang dinamis, terutama terlihat dari hentakan kaki, sabetan cepat tangan, dan olah gerak kuat tubuh itu, sering disajikan sebagai salah satu kesenian rakyat dalam berbagai agenda, baik tradisi kalender desa, pergelaran dan festival budaya, acara seremonial instansi pemerintah maupun nonpemerintah.

Penarinya sekarang tidak hanya warga petani desa-desa di kawasan gunung setempat, tetapi juga telah diajarkan kepada kalangan pelajar dan warga umum lainnya di berbagai permukiman di daerah perkotaan di Magelang.

Budayawan yang juga pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut sejak awal 2000 "mencabut" untuk mengeksplorasi truntung menjadi komposisi musik lebih kuat dan irama makin variatif, dan selanjutnya dilekatkan lagi dalam Tari Soreng.

Oleh karenanya, komunitas itu pernah melahirkan repertoar musik truntung dengan pementasan Tari Soreng di berbagai tempat, melalui Sanggar Warangan Merbabu Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang yang kepemimpinannya diteruskan dari Eko Sunyoto kepada adiknya, Handoko.

Selain itu, karya musik truntung dan Soreng lainnya dengan nama "Truntung Gunung" dimainkan salah satu bagian komunitas itu, yakni para seniman petani Padepokan Warga Budaya Gejayan dari kawasan Gunung Merbabu.

Sebanyak 200 penari, pelajar SD dan SMP dari Kabupaten Magelang berkesempatan mengusung Tari Soreng sebagai rangkaian dari peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2019, di Istana Negara Jakarta dengan upacara kebesaran negara dipimpin Presiden Joko Widodo.

Pihak Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta berkesempatan memberikan sentuhan terhadap Tari Soreng melalui latihan secara intensif para penari, agar salah satu tarian rakyat itu mampu memberikan suguhan paling apik di ibu kota, bertepatan dengan kesempatan istimewa, HUT Ke-74 RI, yang antara lain disiarkan secara langsung berbagai stasiun televisi.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Endra Endah Wacana menyebut sajian Tari Soreng secara kolosal di Istana Negara, sebagai kesempatan emas bagi daerah setempat, terutama untuk menunjukkan salah satu kekayaan karya budaya masyarakat Magelang, kepada jutaan pasang mata yang menyaksikan.

"Jangan sia-siakan kesempatan emas ini," ucapnya ketika itu.

Baca juga: 12.276 orang menari soreng tercatat rekor MURI

Kesempatan emas pementasan Soreng di Istana Negara, dengungnya seakan diperkuat melalui penampilan di "kampung halaman" di Kota Mungkid, Ibu Kota Kabupaten Magelang, melalui pementasan secara massal, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2019.

Dari sisi jumlah penari, Kabupaten Magelang sukses menorehkan Tari Soreng dalam catatan Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) 2019. Tercatat 12.276 penari menyajikan Soreng di Lapangan drh. Soepardi dan Jalan Soekarno-Hatta Kota Mungkid, Kabupaten Magelang.

Tentu saja, popularitas Tarian Soreng menjadi energi pemantik masyarakat untuk mendengungkan secara berkelanjutan usaha-usaha pelestarian karya-karya budaya lainnya sehingga makin kuat jati diri daerah yang dikelilingi lima gunung itu.

Baca juga: HUT RI di Istana Negara, ratusan penari soreng Magelang siap tampil

Hal demikian, sebagaimana dikemukakan antropolog Felicia Hughes-Freeland dalam buku "Komunitas yang Mewujud, Tradisi Tari dan Perubahan di Jawa" (1990) tentang pentingnya tari sebagai bagian dari suatu politik representasi.

"Tari penting karena komunitas nasional dan lokal menggunakannya untuk mewakili diri-mereka-sendiri kepada diri-mereka-sendiri dan kepada orang lain," ucapnya.

Baca juga: HUT RI di Istana Negara, ratusan penari soreng Magelang siap tampil

Soreng memang bukan satu-satunya tarian rakyat yang sering kali ditampilkan menjadi tontonan masyarakat Kabupaten Magelang. Tarian itu pula sekarang bukan lagi menjadi hegemoni warga kawasan Gunung Merbabu, akan tetapi telah dipelajari warga desa-desa lainnya, termasuk di luar kabupaten itu.

Tarian itu sebagaimana tarian rakyat lainnya menjalani dinamikanya sendiri, sesuai dengan kehendak dan minat masyarakat luas.

"Kita berdayakan seluruh potensi di Kabupaten Magelang, termasuk seni Soreng ini," kata Bupati Magelang Zaenal Arifin.

Pemerintah Kabupaten Magelang seakan tak hendak melepaskan naiknya popularitas tarian Soreng begitu saja. Pemkab Magelang memanfaatkan momentum itu untuk kepentingan kemajuan yang makin luas, terutama terkait dengan pelestarian budaya lokal daerah itu.

Mumpung tren Soreng menguat, dengungnya dibuat berkelanjutan. Makna tarian dan narasinya pun, bolehlah kalau terus digali.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019