Jakarta (ANTARA) - Jun dan Liana, dua murid SD di Sumba, Nusa Tenggara Timur dengan riang menyanyikan lagu Jepang berjudul "Ue o muite" yang secara internasional dikenal dengan judul "Sukiyaki".
Mereka berdua baru belajar bahasa Jepang, tetapi lagu jadul yang dirilis di Jepang tahun 1961 itu sudah sering didengarnya sehingga dengan lagu tersebut kedua bocah itu bersemangat untuk belajar membaca dan menulis huruf hiragana.

Lagu tersebut diciptakan oleh Hachidai Nakamura dan dilantunkan oleh Kyu Sakamoto, adalah satu-satunya lagu Jepang yang pernah masuk ke urutan pertama tangga lagu Billboard 100 di Amerika Serikat 1963.
Tapi dunia lebih mengenal lagu tersebut dengan judul Sukiyaki setelah pada tahun 1963, perusahaan rekaman Inggris Pye Records merilis versi daur ulang yang dibawakan Kenny Ball and his Jazzmen. Judul "Sukiyaki" juga dipakai oleh Capitol Records dan His Master's Voice sewaktu merilis lagu asli bersama Kyu Sakamoto beberapa bulan kemudian.

Sebenarnya tidak ada hubungan antara lagu tersebut dengan kata sukiyaki, yaitu nama salah satu masakan Jepang berupa sup daging dan sayuran.
Lirik lagu asilnya ue o muite aruko, aruko namida ga kobore nai youni, artinya "berjalan sambil menengadah, agar air mata tidak terjatuh" menceritakan tentang seseorang yang sedang seorang diri dan berusaha menghibur diri dengan berjalan dan menengadah melihat ke langit, awan-awan, tempat kebahagiaan berada. Sama sekali tidak menyinggung tentang masakan Sukiyaki!

Judul versi Barat itu diciptakan untuk memudahkan orang menyebut lagu bernada riang, yang tidak ada hubungannya dengan cerita masakan.
Ini salah satu keunikan dalam penerjemahan.

Akhir-akhir ini banyak terdengar bahwa bisnis brick and mortar berguguran karena kalah bersaing dengan bisnis daring. Istilah Brick and mortar (batu bata dan semen) adalah istilah untuk merujuk gedung tempat usaha penjualan atau toko-toko, tempat pembeli datang, memilih dan melakukan transaksi sebagai lawan dari toko daring yang tidak tampak bangunan bata-semennya .

etimologi atau ilmu yang mempelajari asal-usul kata-kata merupakan salah satu cabang ilmu yang biasanya juga digeluti oleh peminat bahasa. Banyak kisah menarik dan membuat penutur memahami suatu kata setelah mengetahui asal katanya misalnya istilah pendekatan carrot and stick dalam istilah tata kelola kepegawaian adalah pendekatan yang menggabungkan "hukuman dan penghargaan atau hadiah" bagi karyawan. Istilah itu muncul dari kebiasaan kusir kereta yang membawa tongkat pemukul untuk memacu kuda sementara juga menggantung wortel dengan tongkat di bagian depan agar kuda berlari mengejarnya.

Suatu ketika ada dua tamu dari Belanda di sebuah restoran, tamu tersebut hendak meminta asbak, namun kesulitan berkomunikasi dengan pegawai rumah makan sebab dia menggunakan bahasa Inggris (Ashtray) sementara lawan bicaranya tidak mengerti bahasa Inggris. Pegawai itu memanggil seorang rekannya untuk mendengar permintaan tamu, lalu diterjemahkanlah permintaan itu, "Ambil asbak". Tamu Belanda melongo, sebab susah payah dia mencari kata, ternyata cukup menyebut asbak (bahasa Belanda).

Baca juga: Bahasa daerah di kampung global

Kemiripan

Tomomi Kimura, perempuan Jepang yang pernah mendapat beasiswa Darmasiswa, yaitu program beasiswa bagi siswa-siswa asing untuk belajar bahasa Indonesia dan seni budaya, menyatakan senang mempelajari bahasa Jawa yang menurutnya memiliki kemiripan dengan bahasa Jepang, karena ada hirarki untuk menghormati lawan bicara yang dituakan, dihormati, dengan teman sebaya dan dengan yang lebih muda.

"Kosa katanya juga ada yang pas untuk diterjemahkan, yaitu 'pangestu panjenengan, kulo sae' yang serupa dengan 'okage sama de, genki desu', " kata Tomomi yang selain belajar bahasa di Universitas Gajah Mada juga sempat mengajar Bahasa Jepang untuk program D3.

Terjemahan bahasa Indonesia untuk "okage sama de, genki desu" dalam bahasa Indonesia menurutnya tidak bisa pas.

Tomomi, pemilik sebuah kafe di kawasan Akabane-shi, di wilayah Tokyo, pernah belajar bahasa Indonesia di Universitas Nihon sebagai mata kuliah bahasa asing dalam fakultas Hubungan Internasional, kemudian juga sempat kursus bahasa di Wisma Bahasa Jogjakarta. Kecintaan pada Indonesia yang tumbuh dari bahasa, membuat perempuan itu kini memilih membuka kafe masakan Indonesia.

Lain pula pengalaman Lucia Aryani, penulis buku boga dan seorang penerjemah anggota Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) tentang pengalamannya menerjemah.

Menurutnya, tata boga Nusantara kini mulai menarik minat masyarakat dunia terutama di gelaran pameran buku mancanegara seperti Frankfrut Book Fair dan London Book Fair yang juga menampilkan buku masakan Indonesia. "Penerjemahan buku masak dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris menjadi bidang yang sekarang saya tekuni," kata Luci.

Baca juga: Kamus digital Bali raih penghargaan UNESCO

Hari penerjemahan dan bahasa daerah

Luci seperti juga para penerjemah dan juru bahasa lain yang tergabung dalam Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) merasa senang sejak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan tanggal 30 September sebagai Hari Penerjemahan Internasional.

Perkembangan profesi penerjemah di Indonesia kini semakin dihargai, dan makin banyak pihak yang sadar untuk memberikan tarif yang layak untuk jasa penerjemahan dan kejurubahasaan. Perkembangan ini terjadi berkat perjuangan rekan-rekan seprofesi yang memberikan pemahaman pada klien, pemerintah pun sudah melibatkan HPI dalam beberapa kegiatan, ujarnya.

Tema Hari Penerjemahan Internasional 2019 adalah "Penerjemahan dan bahasa daerah", Luci menyebutnya selaras dengan anjuran Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengawal warga Indonesia untuk mengutamakan penguasaan Bahasa Indonesia, dan bahasa asing serta harus melestarikan bahasa daerah.

Berdasarkan pemetaan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa terdapat 652 bahasa daerah di Indonesia dan jumlah tersebut akan bertambah seiring dilaksanakannya pemetaan di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam penguasaan bahasa daerah, Luci mengaku sebagai orang yang lahir di kota besar dan sejak kecil memakai bahasa Indonesia, agak tercerabut dari akar budaya kedua orang tuanya.

"Saya hanya bisa menggunakan dialek Jawa dan Sulawesi Utara, bukan benar-benar bahasa daerahnya," kata Luci.

Kisah seperti itu banyak terjadi dan hari ini akan menjadi pengingat bahwa para penutur bahasa-bahasa daerah perlu terlibat melestarikan bahasa daerah di keluarga dan komunitasnya.

Baca juga: Himpunan penerjemah usung bahasa daerah pada Hari Penerjemahan
 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019