Timika,   (ANTARA News) - Pengurus Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PUK FSP-KEP SPSI) PT Freeport Indonesia meminta penundaan waktu untuk menggelar pertemuan dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi hingga Rabu pekan depan.

Juru Bicara PUK SPSI PT Freeport, Julius Parorongan kepada ANTARA di Timika, Jumat mengatakan, organisasinya telah menerima surat undangan dari Kemenakertrans pada Rabu (14/9) malam sekitar pukul 24.00 WIT.

Dalam surat itu, Kemenakertrans mengundang PUK SPSI PT Freeport dan manajemen perusahaan untuk menghadiri pertemuan di Jakarta pada Kamis (15/9) guna mencarikan solusi atas rencana mogok kerja selama sebulan ribuan karyawan Freeport.

"Memang benar Kemenakertrans mengirim surat ke PUK SPSI PT Freeport. Surat itu baru kami terima hari Rabu malam sekitar pukul 24.00 WIT. Ini sangat janggal karena isi undangannya mendesak dan sangat mendadak," jelas Julius.

Meski demikian, menurut Julius, PUK SPSI PT Freeport sangat menghargai undangan dari Kemenakertrans untuk menyelesaikan kebuntuan proses perundingan untuk menghasilkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) periode 2011-2013.

Dengan tenggat waktu yang sangat terbatas, PUK SPSI PT Freeport akhirnya menyurati Kemenakertrans untuk meminta waktu penundaan pertemuan hingga Rabu pekan depan.

"Kami sudah kirim surat ke Kemenakertrans melalui DPP SPSI untuk meminta penundaan waktu pertemuan karena kemarin kami minim persiapan apalagi menghadapi kondisi genting saat mobilisasi karyawan dari Tembagapura ke Timika," jelas Julius.

Menurut dia, sejak perundingan dengan manajemen PT Freeport dimulai 20 Juli hingga 20 Agustus dan diperpanjang tujuh hari bertempat di Hotel Rimba Papua Timika, kedua belah pihak sama sekali gagal menghasilkan kesepakatan PKB yang akan berlaku tiga tahun ke depan untuk menggantikan PKB periode sebelumnya yang akan berakhir pada 30 September ini.

Bahkan pada Minggu (11/9), Presiden Direktur & CEO PT Freeport Armando Mahler menggelar pertemuan empat mata dengan Ketua PUK SPSI PT Freeport, Sudiro selama dua jam bertempat di Hotel Rimba Papua Timika.

Namun sangat disayangkan, kata Julius, Armando Mahler tidak bisa memberikan sebuah keputusan yang tegas untuk memenuhi tuntutan para pekerja.

"Sangat disayangkan pucuk pimpinan tidak bisa mengambil keputusan yang tegas demi menghindari hal-hal yang seharusnya tidak perlu terjadi," tuturnya.

Ia juga mengungkapkan adanya "interoffice memo" yang dikeluarkan oleh Armando Mahler kepada seluruh karyawan Freeport yang menyatakan "Mogok Not Pay".

Julius mengatakan, "interoffice memo" tersebut merupakan bentuk intervensi dari manajemen perusahaan kepada pekerja.

Beberapa bentuk intervensi lain yang dialami para pekerja, katanya, yaitu anggota komisariat PUK SPSI diambil di kamar barak karyawan lalu dipulangkan ke Timika dan ada seorang anggota komisariat PUK SPSI yang digiring ke Polres Mimika untuk dimintai keterangan.

"Kami sangat menyayangkan manajemen perusahaan menyelesaikan masalah ini dengan sikap emosional sehingga pekerja menjadi panik dan takut bukan dengan memikirkan solusi terbaik," kata Julius.

 Ia menambahkan, PUK SPSI siap menempuh upaya mediasi bahkan menempuh jalur hukum tergantung kemauan dan itikad baik manajemen PT Freeport.

 "Silahkan mau tempuh yang mana. Yang jelas, sebelum ada keputusan maka karyawan belum bisa kembali bekerja," kata Julius.

 Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan aksi mogok kerja, PUK SPSI PT Freeport meminta anggota SPSI menentukan sikap atau pendapat dengan menawarkan tiga opsi.

 Tiga opsi yang ditawarkan kepada anggota SPSI Freeport, yaitu menerima tanpa syarat seluruh tawaran manajemen tentang kenaikan upah kerja, menempuh jalur hukum ke Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dan melakukan mogok kerja dengan siap menghadapi berbagai risiko yang akan terjadi.

 Dari lebih dari 8.000 anggota SPSI Freeport, sebanyak 7.612 orang memilih opsi ke tiga. (Ant)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024