Kendari (Antara News) - Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulawesi Tenggara mengingatkan warga agar berhati-hati dengan kasus penipuan berkedok pelunasan kredit yang menggunakan Sertifikat Bank Indonesia atau SBI dan surat berharga lainnya.
"BI tidak pernah mengeluarkan SBI atau surat berharga lainnya kepada perusahaan atau pihak tertentu yang dapat digunakan untuk melunasi kredit nasabah di bank-bank operasional," kata Kepala Unit Komunikasi dan Koordinasi BI Perwakilan Sultra Dedy Prasetyo di Kendari, Rabu.
Dedy mengungkapkan modus para pelaku penipuan tersebut menyampaikan penawaran dari perusahaan dan menjanjikan akan melunasi kredit masyarakat pada bank di mana masyarakat mengambil kredit.
Pada saat yang sama, kata dia, para pelaku juga mengajak nasabah untuk tidak membayar utang pada bank, perusahaan pembiayaan maupun lembaga jasa keuangan lainnya.
"Para pelaku biasanya mengincar korbannya dari nasabah yang terlibat kredit macet. Kepada nasabah, mereka menjanjikan akan membayarkan lunas utangnya pada bank bersangkutan dengan jaminan SBI atau surat berharga lainnya yang sebetulnya palsu," kata Dedy.
Jika nasabah tergoda dengan penawaran tersebut kata Dedy, maka pelaku akan meminta sejumlah uang kepada calon korban dengan dalih sebagai uang pendataran menjadi anggota kelompok atau badan hukum tertentu. "Terhadap kasus ini, pihak BI tidak bertanggung jawab dengan para korban yang menderita keugian atas penipuan tersebut," katanya.
Oleh karena itu tegas Dedy, warga harus berhati-hati dengan segala bentuk penipuan dan jika ada warga yang mendapat penawaran untuk dibayarkan kreditnya menggunakan SBI atau surat berharga lainnya, sebaiknya dikonfirmasikan dengan pihak BI.
Ia juga mengimbau warga agar
mewaspadai peredaran uang palsu yang terus meningkat dari waktu ke
waktu.
BI Perwakilan Sultra melaporkan selama Januari-Agustus 2016, BI
Perwakilan Sultra telah menemukan uang palsu di masyarakat sebanyak
2.145 lembar. "Jumlah tersebut meningkat tajam bila dibandingkan dengan temuan
uang palsu di tahun 2015 yang hanya kurang lebih 400 lembar," katanya.
Menurut dia, ada beberapa kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban dari peredaran uang palsu.
Kelompok tersebut antara lain pengelola hiburan malam, swalayan dan
pedagang kios-kios kecil, terutama yang berjualan di malam hari serta
pedagang kaki lima. "Kelompok tersebut rentan menjadi korban peredaran uang palsu karena
saat bertransaksi tidak memiliki alat pendeteksi uang palsu atau minim
pengetahuan membedakan uang palsu dari uang asli," katanya.
Ia mengatakan dalam mencegah peredaran uang palsu kepada kelompok
masyarakat tersebut, pihak BI telah menempatkan alat pendeteksi uang
palsu di beberapa titik di pasar-pasar tradisional dan swalayan.
Selain itu kata dia, pihak BI juga terus melakukan sosialisasi
membedakan uang palsu dari uang asli kepada masyarakat luas, termasuk
para pengelola hiburan dan swalayan. "Membedakan uang asli dengan uang palsu dapat dengan cara dilihat, diraba dan diterawang," katanya.
Menurut dia, uang asli bila dilihat warnanya terang, sedangkan uang palsu warnanya buram.
Di pojok kanan bawah uang asli kata dia, terdapat optical variabel
ink (OVI) yang bila diperhatikan dari sudut pandang yang berbeda akan
berubah warna dari warna hijau ke magenta.
Sedangkan di sisi belakang uang asli pasti ada benang pengaman yang ditanam dalam uang kertas.
Sementara bila diraba pada bagian angka, huruf, dan gambar pahlawan
dalam uang asli akan berasa kasar, sedangkan uang palsu jika diraba
terasa licin.
Jika diterawang pada sebelah kanan uang asli terdapat gambar
pahlawan, kemudian di bawah nilai nominal juga terdapat lingkaran
bertuliskan Bank Indonesia. "Kalau masyarakat sudah bisa membedakan uang asli dan uang palsu,
maka tidak akan menjadi korban dari peredaran uang palsu," kata Dedy.