Jakarta (Antara News) - Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK mempertanyakan kepada pelaksana tugas (plt) Wakil Ketua KPK yang juga mengajukan diri sebagai calon pimpinan lembaga tersebut terkait ketiadaan pengganti dirinya sebagai juru bicara (jubir).
"Pemimpin harus bisa membangun regenerasi, tapi mengapa belum ada regenerasi jubir?" tanya juru bicara pansel capim KPK Betti Alisjahbana dalam tes wawancara di Gedung Sekretariat Negara (Setneg) Jakarta, Selasa.
"Saat saya diangkat menjadi Deputi Pencegahan saya sudah mundur sebagai jubir tapi dari rekrutmen yang dilakukan sampai 2 kali, tidak mendapat pengganti, saya tidak tahu apakah karena kurang gak jelas atau bagaimana tapi sudah ada seleksi. KPK bahkan sudah membuka seleksi Kabiro humas sayangya tidak juga mendapat orang untuk posisi itu," jawab Johan.
Johan yang memulai karir di KPK sejak 2005 sebagai staf fungsional Direktorat
Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, selanjutnya pada 2008 ia ditunjuk sebagai Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat. Pada 2009 ia dipindah menjadi Kepala biro Humas, namun ia sudah ditunjuk sebagai jubir sejak 2007.
Pada 2014 saat ia menjadi Deputi Pencegahan, ia juga mundur sebagai jubir KPK tapi pimpinan saat itu masih ingin menjadikannya sebagai jubir, termasuk saat ia ditunjuk sebagai Plt Pimpinan KPK pada 2015. "Sebenarnya gak enak jadi jubir karena jadi musuh banyak orang," ungkap Johan.
"Orang banyak yang kesemsem sama Pak Johan karena keliatan cool, kok bapak belum dikloning-kloning?" tanya anggota pansel Supra Wimbarti.
"Ukuran KPK yang dipakai untuk menjabat suatu jabatan itu cukup tinggi sehingga
sudah dua kali rekrumten dari luar belum diterima KPK pun gampang mendapat serangan jadi jubir harus di depan menjelaskan dan bisa jadi bamper, sekarang pun kebablasan oleh pimpinan KPK saya diminta jadi jubir," jelas Johan.
Meski demikian, Johan mengaku hanya bagian kecil dari KPK. "Saya hanya skrup kecil dari mesin besar KPK. KPK dalam 10 tahun terakhir mengalami gelombang hiruk pikuk. Kalau sinetron sudah sesi ketiga, dalam konteks itu saya terakhir sebagai ketua tim krisis KPK dalam hiruk pikuk. Banyak yang saya
lakukan tapi tidak bisa saya mengklaim itu karena 'effort' pribadi sebab itu adalah kerja tim," tegas Johan.
Johan Budi juga mengungkapkan bahwa untuk menjabat pimpinan KPK harus mengerti hukum meski bukanlah sarjana hukum.
"Yang penting pimpinan KPK mengerti hukum, bukan harus sarjana hukum. Orang yang mengerti bisa saja sarjana hukum, bisa juga tidak, karena KPK ada lima tugas dan salah satu tugas penting terkait penegakan hukum, jadi harus ada pimpinan yang mengerti soal hukum karena yang dibutuhkan KPK bukan hanya sekadar hukum," kata Johan dalam tes wawancara di hadapan 9 orang panitia seleksi (pansel) KPK di Gedung Sekretariat Negara (Setneg) Jakarta, Selasa.
"Tapi bagaimana dengan status sejumlah tersangka yang terkatung-katung di KPK saat ini?" tanya anggota pansel Harkristuti Harkrinowo.
"Persepsi publik KPK cepat sekali menetapkan seseorang menjadi tersangka namun setahun setelahnya diperiksa sebagai tersangka. Jadi saat saya menjadi Plt Wakil Ketua KPK, saya baru tahu harus ada perubahan-perubahan drastis yang dilakukan, salah satunya memperkuat proses penyelidikan yaitu dengan dua alat bukti permulaan cukup sehingga benar-benar didapat secara sahih, tidak boleh seseorang menjadi tersangka sementara prosesnya sangat lama karena kasihan tidak ada kepastian hukum dan bisa buka peluang hal-hal yang bertabrakan dengan semangat antikorupsi," ungkap Johan.
Meski demikian, KPK juga harus punya skala prioritas dengan memperhitungkan jumlah penyidik saat ini yang hanya berjumlah sekitar 60 orang.
"Jumlah itu sekelas Polres, tapi jangkauan perkara KPK sangat banyak. Satu tim minimal anggotanya ada lima dan kalau jumlah penyidik total 65 orang maka dia hanya bisa menangani perkara sekitar 13 perkara per tahun. Padahal di KPK sudah ada 40-50 penyidikan, jadi 1 orang penyidik bisa menangani sampai 5 perkara dalam waktu yang sama, ini kondisi yang tidak banyak dipahami," jelas Johan.
Terkait dengan polemik korupsi di sektor kebijakan terutama dengan lahirnya UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Johan mengaku bahwa KPK pun tidak serta merta menjadikan pejabat tertentu sebagai tersangka.
"Tidak serta merta orang yang melakukan penunjukan langsung otomatis korupsi, demikian juga dalam proses pengadaan barang dan jasa meski sesuai Kepres belum tentu tidak korupsi harus dilihat apakah ada 'kick back', atau niat jahat bisa dipidanakan," tambah Johan.